Ucapan Selamat Datang

SELAMAT MENYIMAK SETIAP ULASAN YANG KAMI SAJIKAN

Senin, 25 November 2013

Menjadi Guru, Pilihan Yang Mengerikan

Oleh : Pakdhe U®

Foto-0102

Jember.id.. Benarkah menjadi seorang guru itu enak? Kerjanya ringan? Gak begitu capek-capek amat? Benarkah menjadi guru itu terjamin kesejahteraannya? Jawabannya untuk saat ini adalah tidak! Justru sebaliknya, menjadi guru di jaman sekarang itu berat. Saa…ngat berat. Bahkan bisa dikatakan mengerikan!

Apa yang kemudian menjadi dasar bagi saya untukmengatakan pendapat seperti itu? Banyak hal yang bisa ditelisik dan diperhatikan sehingga kemudian menghasilkan kesimpulan bahwa menjadi guru itu adalah pilihan yang mengerikan.

Faktor siswa.

Seperti kita ketahui, kondisi pergaulan saat ini sudah sangat demikian menakutkan. Pergaulan bebas sebagai dampak dari tayangan-tayangan televisi yang tidak mendidik, ditambah lagi dengan semakin merajalelanya narkoba, minuman keras, pelecehan seksual dan sejenisnya. Itu secara tidak langsung akan membentuk karakter siswa yang lebih sulit dikendalikan. Siswa sekarang lebih cenderung kehilangan kesopanannya jika dibandingkan dengan siswa pada jaman saya sekolah dulu. Bahkan bisa dianggap lebih dominan kurang ajar.

Sebagai guru yang baik, tentu mengharapkan setiap siswa menjadi jauh lebih baik, jauh lebih pintar dan senantiasa melakukan hal-hal yang positif sesuai dengan tingkatan keilmuannya. Namun, mengingat kondisi saat ini, dengan siswa yang cenderung lebih kurang ajar, cenderung lebih mudah terjerumus, tentulah ketakutan demi ketakutan selalu menghantui pikiran para guru.

Pikiran takut anak didiknya terlibat narkoba, pelecehan seksual, kekerasan dan kejahatan lainnya selalu berputar-putar di kepala setiap kali mengajar di depan kelas. Okelah, di sekolah para siswa adalah siswa yang penurut (katakanlah begitu), sopan dan tidak ada masalah. Tapi, di luar sekolah, yang sudah bukan tanggung jawab guru, apapun bisa terjadi. Yang ditakutkan adalah, ketika sesuatu terjadi di luar sekolah, namun dampaknya terbawa sampai ke sekolah. Itu yang mengerikan! Nama baik sekolah bisa hancur, guru-guru bisa kehilangan muka di masyarakat-karena dianggap tidak bisa mendidik, bahkan bisa-bisa sekolah kehilangan murid.

Foto-0013

Faktor Lingkungan.

Lingkungan di tempat saya berada tergolong lingkungan yang berat. Sebagian besar masyarakatnya adalah buruh tani dan pekerja kasar yang kualitas pendidikannya sangat kurang (baca: tidak berpendidikan). Sebagian lagi adalah kelompok masyarakat yang merupakan buruh migran di Malaysia, Hongkong, Saudi dan beberapa tempat lainnya yang tentunya tidak ada di sini dalam waktu lama.

Hanya sebagian kecil saja yang merupakan golongan berpendidikan cukup (minimal SMA), karyawan swasta dan pedagang. Untuk golongan ini tidaklah menghadirkan ketakutan bagi guru yang mengajar di sekitar tempat saya. Yang menjadi perhatian adalah golongan yang saya sebutkan pada paragraf sebelumnya.

Kenapa? Siswa yang kebetulan orang tuanya menjadi buruh migran di luar negeri, tentu kehilangan masa-masa pengasuhan bersama ayah maupun ibu, atau salah satu dari mereka. Siswa ini tentulah tinggal dengan nenek atau kakeknya yang renta dan tentu pula tidak akan bisa berbuat apa-apa ketika siswa ini berulah.

Karena penghasilan orang tuanya dari luar negeri tergolong melimpah, ditambah dengan pikiran orang tua yang menganggap bahwa segala kebutuhan anaknya adalah uang (bukan kasih sayang dan pendampingan), maka siswa yang termasuk golongan ini cenderung konsumtif, gemar hura-hura (karena kurangnya pengawasan), sangat berpotensi untuk terjerumus dalam pergaulan bebas dan narkoba.

Padahal tugas guru adalah mendidik dan mengajarkan ilmu serta kebaikan kepada setiap anak, tapi perlu diingat, cakupannya hanya terbatas pada lingkungan sekolah. Di luar sekolah sudah menjadi tanggung jawab dari orang tua masing-masing. Nah, bagi siswa yang lingkungan luar sekolahnya sangat kurang pengawasan dan berpotensi rusak, tentu menjadi poin yang mengerikan bagi tugas guru.

Tak ada bedanya dengan ketika menghadapi siswa dari golongan yang orang tuanya kurang berpendidikan. Rasa was-was dan paranoid akan tidak berhasilnya materi yang disampaikan diserap dengan baik cukup menguras pikiran dan psikologis guru. Kemungkinan itu ada mengingat siswa sudah dipastikan tidak mempunyai lingkungan yang mendukung untuk tumbuh kembang akademisnya, karena orang tua yang tidak berpendidikan. Kalaupun ada yang berbeda, adalah siswa yang mau bangkit sendiri dengan cara belajar bersama temannya.

Faktor Pemerintah.

Pemerintah juga tak luput menyumbang kengerian tersendiri bagi yang berprofesi menjadi guru. Mengapa? Sudah menjadi kebiasaan dan bahkan setengah menjadi “kutukan” (wah…), dalam setiap pergantian kepemimpinan adalah berarti pergantian menteri juga. Nah, kalau sudah ganti menteri, biasanya diikuti dengan pergantian aturan atau program.

Program peninggalan pemerintahan sebelumnya, yang untuk menyesuaikannya membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit, harus terputus begitu saja. Sedangkan untuk kembali menyesuaikan dengan aturan baru yang menjadi kebijakan pemerintahan terbaru, juga tidak semudah menelan ludah.

Semua kembali dari nol dan kembali melaui serangkaian pelatihan, workshop, sosialisasi dan segala bentuk seminar atau sejenisnya. Yang mengerikan adalah, waktu yang banyak terbuang untuk kegiatan-kegiatan itu. Yang menjadi korban pada akhirnya adalah siswa kita karena harus selalu ditinggal untuk pelatihan.

Siswa akhirnya kebanyakan diberi tugas saja. Materi terserap atau tidak? Kurang begitu yakin karena untuk memikirkan itu saja sudah sangat mengerikan. Belum lagi menyusun program ini dan itu demi melaksanakan kebijakan baru.

Faktor Kelembagaan.

Tuntutan seorang guru harus profesional, produktif dan kreatif, sebagai produk kebijakan pemerintah melalui menteri baru, sedikit banyak memaksa guru untuk selalu aktif mencari peluang workshop atau seminar demi mengejar angka kredit (sebagaimana disyaratkan), akhirnya selalu meninggalkan kelas dan tanggung jawabnya pada siswa.

Celah ini bukan tidak mungkin akan dimanfaatkan oleh oknum kelembagaan di lingkungan pendidikan dengan menjual jasa apapun yang terkait dengan pelatihan. Tawaran mulai dari 1 juta hingga 5 juta diajukan untuk memperoleh poin tinggi penyusunan karya tulis (PTK), sertifikat seminar (fiktif), dan kenaikan pangkat dari III/c ke III/d tanpa harus menyusun portofolio.

Bagi guru yang jujur, harus siap tidak naik pangkat dan yang paling mengerikan adalah adanya aturan jika sampai 5 tahun gak naik pangkat akan langsung diberhentikan (katanya sih begitu). Mau menyusun portofolio/karya tulis tanpa mengeluarkan biaya (mengerjakan sendiri) dijamin tidak akan mendapatkan nilai kredit. Otomatis tidak naik pangkat dong!

Mau melaporkan kecurangan ini? Sangat tidak bisa, karena tidak ada jejak bukti dari transaksi gelap itu. Semua selalu melalui telepon dan tanpa kuitansi (mana ada koruptor memberikan kuitansi sebagai bukti penggelapannya?) Yang ada malah sebaliknya, kita menjadi berpotensi dilaporkan balik atas tuduhan pencemaran nama baik.

Faktor Individu.

Kalau mudah capek, bosan dan tidak punya semangat tinggi, dan biaya lebih, saya sarankan untuk tidak mencoba menjadi guru. Mengapa? Menjadi guru akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk diangkat menjadi PNS. Kalau ingin cepat, ya harus pandai mencari peluang lewat oknum dengan biaya lebih dan harus siap bersikut-sikutan dengan pencari peluang yang lain.

Menjadi guru tidaklah 100% mengajar di kelas karena pembagiannya adalah; 50% pelatihan dan seminar, 20 % menyusun program dan menyesuaikannya, 20 % menghadapi oknum-oknum yang mencari peluang dan sisanya baru mengajar di kelas.

Belum lagi bagi mereka yang terpaksa mencari usaha sampingan demi memenuhi tuntutan oknum untuk mendapatkan kenaikan pangkat yang cepat dan sebagainya. Jadi, sudah siap menjadi guru? Apakah di tempat anda juga tidak jauh berbeda?

Sumber : Kolega & Partner.

Foto : Dok. Pribadi.

Penulis : Pakdhe U ® | windows live writer | blogger | you tube | copyright @2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar