Ucapan Selamat Datang

SELAMAT MENYIMAK SETIAP ULASAN YANG KAMI SAJIKAN

Senin, 22 Juni 2015

PERJALANAN MALAM LINTAS KABUPATEN.

By : Pakdhe U ®


DJ. Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 25 Mei 2015, setelah mendapatkan sebuah sms tentang berita duka, saya berkesempatan melakukan perjalanan yang lumayan jauh menuju kota Blitar. Saya tidak akan membahas tentang siapa dan bagaimana cerita tentang keluarga yang meninggal. Tapi, saya akan bercerita tentang perjalanannya saja.

Bukan sebuah perjalanan yang luar biasa, atau istimewa bagi kebanyakan orang. Karena memang ini adalah perjalanan untuk keperluan ta’ziah. Apa yang menarik dari acara tersebut? Kecuali kita memang mau merenungkan bahwa peristiwa tersebut mengandung hikmah yang luar biasa.

Bagi saya, dalam perjalanan tersebut, yang saya lakukan sepanjang sore sampai hampir tengah malam, cukup melukiskan banyak hal. Utamanya terkait keberhasilan pembangunan sebuah pemerintahan daerah. Perlu diketahui, dalam perjalanan itu, saya melewati tiga wilayah Kabupaten. Yaitu, Jember bagian barat sisi selatan, Lumajang sepanjang sisi selatan, Malang sepanjang sisi selatan dan Blitar wilayah timur.

Antara beberapa, tepatnya tiga Kabupaten tersebut, satu dengan yang lainnya sangat jauh perbedaannya. Khususnya yang berhubungan dengan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan. Ada yang sangat terawat baik, ada pula yang sangat mengenaskan. Ada yang kondisinya biasa-biasa saja, ada pula yang kondisinya cukup lumayan baik.

Jika dibandingkan, berdasarkan apa yang saya lihat sepanjang perjalanan tersebut, infrastruktur di Kabupaten Jember adalah yang paling parah. Meskipun pada beberapa bagian wilayah Kabupaten Lumajang dan Malang ada juga yang rusak,namun tentunya tidak separah kondisi di Kabupaten Jember.

Kalaupun ada perbaikan, itu sifatnya hanya sekedar tambal sulam saja. Sisanya, ya tetap saja lubang jalan yang menganga cukup lebar dan dalam. Entah karena beban jalan yang sangat berlebihan (banyak truk-truk pasir bertonase besar), atau mungkin karena terlalu banyak yang dikorupsi? Yang pasti saya tidak tahu.

Jika dibandingkan dengan Kabupaten Lumajang, yang sampai pelosok kondisi jalan sudah mulus hotmix, meskipun ada juga yang sedikit terkelupas, tentulah Kabupaten Jember kalah jauh. Apalagi jika harus dibandingkan dengan Kabupaten Malang, atau Blitar, yang hampir seluruh wilayahnya (tentu sebatas yang saya lalui) sudah menikmati aspal hotmix yang mulus.

Tapi, yang saya salut dari Kabupaten Jember adalah hampir seluruh wilayah yang berpopulasi, jalannya sudah dilengkapi dengan lampu penerangan jalan umum, sehingga perjalanan sedikit lebih aman.

Untuk wilayah Kabupaten Lumajang dan Malang, yang cukup membuat miris adalah banyaknya motor-motor yang tidak menyalakan lampu, meskipun waktu sudah malam sekalipun dan di lingkungan yang gelap (kawasan pegunungan), yang ini tentunya cukup mengganggu perjalanan.

Apapun itu,…. ya begitulah!

Pakdhe U ® | 2015

Jumat, 19 Juni 2015

MENATA PENDIDIKAN DEMI MENGGAPAI HARAPAN

By : Pakdhe U ®


DJ. Pendidikan, khususnya di Indonesia, adalah salah satu sektor yang masih perlu perhatian khusus. Selain karena kualitas sarana, prasarana, dan faktor pendukung lainnya, termasuk terkait Kurikulum yang masih jauh dari kata kelayakan, juga karena beban yang diemban oleh sektor ini dalam menentukan arah Bangsa Indonesia ke depan yang teramat berat.

Membicarakan masalah-masalah yang terkait dengan dunia pendidikan, kita pasti akan dihadapkan pada banyak sekali hal yang saling tumpang tindih, saling sikut menyikut, bahkan boleh dikatakan bagai dihadapkan pada jalur-jalur labirin yang menyesatkan. Kita sering mendengar, bahkan turut menjadi saksi nyata robohnya bangunan sekolah. Entah karena memang sudah usang termakan jaman, atau karena kurang terawat dengan alasan minimnya biaya perawatan. Bahkan bangunan baru yang hanya beberapa bulan berdiri sudah ambruk karena dalam pengerjaan proyek tersebut diwarnai korupsi yang gila-gilaan.

Kita acapkali menyaksikan, atau mungkin ada diantara anak didik kita, saudara kita, bahkan adik kita sendiri, terlibat tindakan kejahatan jalanan. Terlibat tawuran dan keterlibatan-keterlibatan terhadap tindakan negatif lainnya, yang semestinya tidak dilakukan oleh seorang pelajar yang memiliki integritas, dedikasi, dan harga diri yang tinggi.

Kita juga tidak bisa menafikkan beberapa kejadian memalukan yang dilakukan oleh oknum guru, kepala sekolah, dan orang-orang yang seharusnya memberikan contoh tauladan yang baik. Mereka, para oknum ini dengan wajah tertunduk lesu, tertangkap tangan sedang melakukan tindakan asusila, tindakan kurang senonoh, dan tindakan-tindakan lain yang sebenarnya hanya pantas dilakukan oleh binatang.

Membaca ulasan di atas, tentu kita harus kembali merenung lebih dalam. Jauh lebih dalam dari sekedar renungan biasa, untuk mengurai apa yang sebenarnya terjadi. Untuk menggali kesalahan-kesalahan apa yang sudah kita perbuat sehingga hal-hal semacam di atas terjadi begitu saja. Apakah kesalahan itu pantas dibebankan kepada sistem pendidikan kita? Atau justru karena sumber daya manusia kita yang penuh oleh oknum-oknum bejat menjadikan sistem yang sebenarnya sudah baik berubah menjadi nampak tidak baik?

Pendidikan kita memang sudah gagal! (Baca : Raport Merah Dunia Pendidikan) Bahkan mungkin lebih tepat jika dikatakan gagal total! Tentu jika dibandingkan dengan kualitas pendidikan negara tetangga kita. Bahkan jika harus dibandingkan dengan kualitas pendidikan masa lampau, kualitas pendidikan kita saat ini juga masih dikatakan buruk.

Apa namanya jika bukan gagal, saat lulusan sekolah dasar (SD) tidak mampu menghitung perkalian dan pembagian. Memang, ini sifatnya kasuistik, tapi jika dibandingkan dengan masa kecil penulis tentu sangat jauh perbedaannya. Saat penulis masih kecil, semua lulusan SD sudah paham perkalian, pembagian, dan hampir semua materi matematika dasar.

Itu hanya sekedar membahas kualitas lulusan setingkat SD. Bagaimana dengan lulusan SMP, SMA, atau bahkan Perguruan Tinggi? Saya bisa katakan sebelas dua belas, alias sama saja. Saya masih sering menemukan seorang sarjana yang seharusnya memiliki pemikiran maju sesuai dengan level pendidikannya, tapi ternyata pola pikirnya masih terkungkung oleh keterbatasan. Bahkan bisa disamakan dengan kualitas lulusan SMP pada jaman saya masih kecil. (Baca : Sarjana Palsu Salah Siapa?)

Membicarakan pendidikan kurang afdol rasanya jika tidak pula membahas tentang perilaku siswa saat ini. Tentang hilangnya sopan santun siswa terhadap guru, tentang hilang lenyapnya harga diri guru di hadapan siswa saat ini. Yang semua itu sebenarnya dipicu oleh campur tangan pihak lain dalam lingkaran pendidikan.

Saya masih ingat betul, saat masih SD dulu, setiap hari kamis selalu ada pemeriksaan kuku oleh guru kelas. Guru dengan penuh wibawa, menenteng sebuah tongkat rotan sebesar ibu jari, berkeliling memeriksa kuku tangan siswa satu persatu. Sementara, siswa dengan penuh hormat dan sedikit takut, tertunduk menantikan hasilnya. Jika ada satu saja kuku yang terlalu panjang, otomatis tongkat rotan tersebut dipukulkan ke jari yang kukunya panjang. Tidak keras sih, tapi hal itu sangat efektif untuk membuat siswa menjadi disiplin memelihara kukunya dengan rapih. Itu juga diimbangi dengan sang guru sendiri yang kukunya juga pendek, rapi dan bersih.

Kalau sekarang? Kita semua tahu, seorang guru memukul siswa, sekecil apapun, dengan tujuan apapun, selama siswa keberatan, bisa diadukan ke Polisi sebagai bentuk penganiayaan. Ini kemudian yang saya katakan ada pihak lain yang sengaja turut bermain dalam penerapan disiplin dalam dunia pendidikan, dilandasi oleh alasan hak azasi manusia. Seharusnya dunia pendidikan dijauhkan dari lingkaran hukum pidana, karena sesungguhnya sistem pendidikan kita sudah memiliki hukum, aturan, dan tata kelola disiplin tersendiri. Aturan yang ditentukan bersama oleh pihak sekolah, tidak seharusnya dipatahkan oleh hukum pidana.

Mungkin saya salah, tapi setiap sekolah sudah merumuskan aturan, tata tertib yang sudah sewajibnya dipatuhi oleh setiap individu yang tergabung dalam sekolah tersebut. Entah guru, penjaga sekolah, karyawan, terlebih siswa, harus menjunjung tinggi aturan yang sudah dibuat tersebut. Yang melanggar, tentu harus mendapat hukuman sebagai balasan atas tindakan indisipliner mereka. Barulah, ketika hukum aturan sekolah tidak mampu mengatasinya, hukum negara, melalui kepolisian yang bertindak.

Sebagai akibat dari masuknya Polisi dalam lingkaran pendidikan adalah; guru menjadi serba salah. Mau tidak diberi peringatan, jelas-jelas siswa bersalah. Mau diberikan peringatan, sudah pasti terkena pasal kekerasan verbal. Akhirnya, posisi siswa berada di atas angin. Merasa tidak akan ada guru yang berani menegurnya, karena yakin ada Polisi di belakang mereka. Kemudian, bisa kita tebak; siswa banyak yang bertato, berkuku panjang, berambut acak-acakan, brutal, yang lebih parah menjadi tidak respek pada guru, persis seperti preman pengkolan.

Agama saja mengajarkan kekerasan (walau dalam taraf wajar) dalam upaya menegakkan disiplin. Misalnya Islam; membolehkan kita memukul anak yang lalai dalam menjalankan Sholat lima waktu, yang sifatnya wajib bagi anak yang sudah baligh. Tentu tidak serta merta dipukul begitu saja, melainkan ada tahapan teguran. Setelah ditegur lebih dari tiga kali tetap tidak mengindahkan, barulah pukulan itu boleh dilakukan. Itulah, mengapa kemudian kekerasan demi menegakkan disiplin itu harus dilakukan! Karena memang perlu! Bayangkan jika Polisi turut campur dalam pendidikan akhlak (menegakkan disiplin sholat), tentulah akan banyak Ayah yang dipenjara, dan banyak pula anak yang lalai dalam agama.

Akhirnya; apapun yang terjadi kita memang perlu merumuskan suatu formula jitu dalam menata Pendidikan kita. Merumuskan tatanan baru yang murni dan tidak dikebiri oleh kepentingan oknum bejat. Merumuskan aturan yang baku yang tidak dicampuri kepentingan hukum sebagai alasan Hak Azasi. Semua daya upaya diperlukan demi menggapai harapan bangsa yang lebih baik.

Pakdhe U ® | 2015

Selasa, 16 Juni 2015

AKU, AKU, AKU BUKAN DIRIMU

By: Pakdhe U ®


DJ. Baru kemarin aku temukan kembali sekeping rasa yang pernah hilang, ditelan angkara malam. Baru kemarin, saat suara sendumu membangunkan aku dari lilitan naga mimpi yang tak henti mencabik-cabik resahku, aku tersadar jika sekeping rasa itu sudah hampir kadaluarsa.

Aku pernah menjelma sebagai orang gila yang mengencani kecantikan malam kota Malang. Aku juga pernah mencicipi pahit getirnya mahasiswa baru yang teraniaya di dua Universitas besar di kota Malang. Aku tak pernah pula melukan saat-saat menggelandang, mengejar cinta di setasiun Blimbing, kota Malang juga.

Aku tak ingin kehilangan momen saat menggila menyusuri jalanan Yogyakarta, menyusuri jalanan kota Kediri, Surabaya, Jakarta, Bontang, Padang, dan Bali, sesaat setelah kau katakan aku tak pantas untukmu. Persetan dengan itu!

Hari ini, setelah minum bergalon-galon air mineral, setelah memasung waktu sedari matahari menyapa sampai kembali merebah, setelah menatap bayang fatamorgana yang berhias cantiknya wajahmu, aku sadar. Aku akan kembali menjadi aku, yang tak pernah henti mencintaimu. Meskipun aku tak pernah menjadi aku yang bisa memilikimu.

Aku hanya akan menjadi ayah bagi anak-anakku. Menjadi suami bagi istriku yang mau menerimaku dengan penuh cinta. Dan itu bukan lagi dirimu.

Pakdhe U ® | 2015

Jumat, 12 Juni 2015

MEMBACA KEMATIAN

By : Pakdhe U ®


DJ. Siapapun, apapun dan dengan cara bagaimanapun, jika nanti sudah tiba saatnya, dapat dipastikan akan menemui yang namanya mati. Mati, adalah sebuah peristiwa besar yang bisa dipastikan kehadirannya, meskipun masalah kapan waktunya masih tetap merupakan sebuah rahasia terbesar yang bahkan para Malaikat-pun tidak akan mengetahuinya.

Mati, kematian, penghabisan dari kehidupan bisa menjemput kita kapan saja. Bahkan ketika kita masih belia, segar dan kedatangan kematian memang sungguh tanpa bisa diduga. Tapi, saat ini saya tidak ingin membahas tentang kapan, atau rahasia di balik kedatangan ajal (kematian). Saya hanya akan membahas tentang suatu pelajaran besar yang penting, yang senantiasa menyertai sebuah peristiwa kematian.

Tulisan ini saya buat berdasarkan pengalaman pribadi, dan beberapa cerita dari orang-orang yang saya kenal dengan baik latar belakangnya. Bahwa kematian itu memberikan petunjuk kepada mereka yang masih hidup untuk melangkah menuju jalan yang dikehendaki Allah, dan sesungguhnya yang demikian ini benar adanya bagi orang-orang yang mau berpikir.

Setiap kali ada peristiwa kematian di sekitar saya, sebagai manusia yang bertetangga, dan bentuk empati kepada yang mengalami kedukaan, tentulah saya tidak pernah ketinggalan untuk bertakziah, atau melayat. Satu hal yang selalu saya lakukan adalah menjadi bagian dalam prosesi pemakaman, yaitu turut memikul keranda jenazah menuju tempat pemakaman.

Alasan saya turut memikul keranda adalah untuk mengetahui perbedaan antara satu orang dengan orang lain sesuai dengan riwayat mereka semasa masih hidup. Ternyata, apa yang mereka perbuat selama hidup sangat menentukan berat ringannya pikulan keranda mereka. Tak perduli mereka kurus atau gemuk.

Dalam satu kesempatan saya pernah memikul keranda jenazah yang benar-benar sangat ringan. Bahkan jauh lebih ringan dibanding ketika hanya membawa keranda kosong dari pemakaman. Selain itu, saya yang selalu berada di bagian belakang juga merasakan aroma wangi yang luar biasa, yang bukan dari rangkaian bunga atau minyak wangi. Benar-benar wangi segar yang sangat berbeda. Padahal saat meninggal, orang ini masih segar, tidak kurus dan badannya cukup besar.

Memang, semasa hidupnya jenazah ini mengabdikan diri sebagai guru ngaji yang tidak pernah memasang tarif, bahkan kebanyakan gratis bagi anak-anak didiknya. Hidupnya juga selalu ramah, dermawan kepada setiap orang. Selalu hormat pada siapapun, dan yang paling utama adalah, beliau selalu tepat waktu dalam menjalankan ibadah sholat lima waktu. Mungkin,karena segala amal ibadahnya, amal kebaikannya tersebut, keranda yang membawa beliau terasa sangat ringan.

Dalam kesempatan yang lain, saya juga pernah memikul keranda jenazah seorang yang berprofesi sebagai rentenir. Orang ini tubuhnya kurus kering dan pada saat meninggal karena sakit, tubuhnya hanya tinggal tulang dan kulit belaka. Sebenarnya beliau sudah berhaji, dan cukup rajin berjamaah di mushola, tapi sayang profesinya yang rentenir itu cukup mengurangi nilai kebaikannya. Ternyata benar, saat saya memikul keranda jenazahnya, terasa lumayan berat. Seperti membawa 3 atau 4 keranda kosong, pun begitu dari balik keranda tidak tercium aroma apapun, padahal untaian bunga melati dan bunga-bunga yang lain penuh menutupi keranda.

Lain lagi ketika ada seorang tetangga yang semasa hidupnya tidak pernah beribadah. Hidupnya hanya digunakan untuk mengumpulkan materi duniawi, sehingga kewajiban ibadahnya terbengkalai, pun dengan hubungannya kepada para tetangga cukup terkenal pelit. Dalam kesehariannya selalu iri, drengki, dan tidak pernah mau kalah dari tetangganya. Intinya, dia harus yang paling unggul.

Saya memikul keranda jenazah orang ini terasa beratnya bukan main, padahal saat meninggal tubuh orang ini cukup kecil dengan berat badan kira-kira hanya 50 Kg. Dengan 4 orang memikul keranda, masih terasa sangat berat. Bahkan saking beratnya, seolah-olah keranda jenazah tersebut enggan untuk melangkah menuju pemakaman. Dan yang cukup menjadi perhatian adalah ada tercium aroma busuk dari balik kerandanya.

Belum lagi ketika sampai di pemakaman, orang-orang yang bertugas menggali makam ternyata masih belum selesai menggali. Kata mereka, sebenarnya lubang  makam yang mereka gali sudah cukup dalam, sebatas dada. Tapi setelah ditinggal istirahat minum dan menunggu datangnya jenazah, begitu dilihat kembali ternyata lubang makam tersebut kembali dangkal hanya sebatas perut saja. Itu berulang sampai 3 kali.

Terpaksa jenazah menunggu lubang makam cukup dalam dan barulah prosesi pemakaman bisa terlaksana. Tapi yang aneh kemudian adalah, gundukan tanah yang sebegitu banyak ternyata tidak cukup menutup lubang makam tadi. Kalau biasanya masih ada sisa sampai makam menggunduk cukup tinggi, yang ini malah makam terlihat celong. Akhirnya terpaksa mengambil tanah dari sekitar makam untuk menutupi kekurangan tanah tersebut.

Apa yang saya ceritakan di atas, ternyata juga dialami oleh beberapa orang saudara saya, teman saya dan banyak kolega saya yang lain, di tempat-tempat yang lain. Ketika saya berdiskusi tentang masalah ini kepada seorang Ustadz, beliau menjawab bahwa memang dalam setiap kematian terselip sebuah pelajaran berharga. Hanya tinggal bagaimana kita bisa membaca kematian sebagai sebuah pelajaran.

Semoga kita digolongkan sebagai orang-orang yang mati dalam keadaan Iman, Islam, dan baik, amin!

Pakdhe U ® | 2015

Selasa, 09 Juni 2015

SARJANA PALSU SALAH SIAPA?

By: Pakdhe U ®

Jember. Sungguh miris jika mengingat berita yang sering muncul di tv belakangan ini. Kekerasan, penipuan, dan beragam kejahatan seolah saling mengejar rating tertinggi. Dan yang paling menyesakkan dada adalah berita adanya ijazah palsu. Yang artinya pasti ada juga sarjana palsu.

Ada sebuah lembaga pendidikan setigkat doktoral yang ruang kuliahnya di sebuah ruko (rumah toko) yang sempit. Ada juga sebuah lembaga pendidikan yang hanya berisi beberapa gelintir mahasiswa tanpa disertai dosen maupun staff kampus lainnya. Sungguh sangat keterlaluan, demi mengejar untung berlipat ganda,oknum-oknum yang semestinya turut berusaha keras memajukan pendidikan di Indonesia, malah justru menjadikan pendidikan sebagai sarana bisnis belaka.

Di tempat penulis, sudah menjadi rahasia umum jika seseorang ingin mendapatkan ijazah, entah itu setingkat SMU (melalui Kejar Paket C), atau setingkat Sarjana, cukup menyediakan uang dalam jumlah tertentu sudah bisa memiliki ijazah yang diharapkan tersebut. Jumlah tatap muka kelas? Jangan ditanyakan lagi, hampir tidak pernah ada. Paling umum hanya ada di hari sabtu dan minggu, di tempat yang kurang representatif karena pinjam lokal sekolah swasta, itupun belum tentu ada dosennya.

Sarjana palsu memang bertebaran, lalu siapa yang pantas dan layak disalahkan atas semua hal tersebut? Pemerintah? Meskipun kesalahan mutlak bukan menjadi domain pemerintah, tapi sebagai regulator dan penguasa tentulah pantas kesalahan itu dibebankan pada pemerintah. Kenapa? Dengan adanya temuan Sarjana, Ijazah, dan Sekolah Tinggi yang meragukan kualitasnya, bukan tidak mungkin ada oknum Pemerintahan yang turut bermain dalam lingkaran tersebut.

Bagaimana cara mereka bermain? Tentu tidak ada cara lain selain melalui cara perizinan. Dengan mudahnya Pemerintah, melalui pihak yang berwenang, mengeluarkan izin pendirian lembaga pendidikan kepada pihak-pihak yang sejatinya tidak memiliki kapabilitas dan kredibilitas dalam menyelengggarakan pendidikan.

Tanpa melalui survei yang komprehensif, bahkan dengan mudahnya para surveyor dari dinas Pendidikan memberikan persetujuan, padahal sarana, prasarana dan faktor pendukung lainnya bisa dikatakan masih belum layak. Mereka (para surveyor) segera memberika persetujuan setelah saku mereka dijejali amplop berisi lembaran uang yang cukup tebal.

Saya mengatakan hal ini karena di sekitar saya berada cukup banyak lembaga pendidikan yang bertebaran. Mereka cukup mudah mendapatkan izin penyelenggaraan pendidikan meskipun pada kenyataannya muridnya hanya segelintir saja. Mereka semua hanya berorientasi pada keuntungan mendapatkan dana BOS ( baca : Memburu Pesona BOS 1 dan Memburu Pesona BOS 2), mengenai kualitas pendidikan yang mereka selenggarakan mereka abaikan.

Tapi, setidak-tidaknya ijazah yang mereka tawarkan bisa dijamin keasliannya, karena memang lembaga pendidikan tersebut mendapatkan izin penyelenggaraan dari dinas terkait. Yang menjadi pembeda mungkin hanyalah kualitas pendidikan yang mereka selenggarakan dengan segudang keterbatasan. Output yang dihasilkan bisa dikatakan memiliki 2 atau 3 grade lebih rendah dari tataran yang seharusnya. Lulusan SMP, tingkat penalarannya masih sama dengan anak kelas 6 SD.

Entahlah kapan hal ini akan berakhir dan kemudian Indonesia menjelma menjadi sebuah negara yang besar? Atau mungkin hal-hal nista ini akan tetap terjadi di bumi Indonesia sampai akhirnya nanti membawa Indonesia semakin tenggelam dalam kegelapan.

Pakdhe U ® | 2015