Ucapan Selamat Datang

SELAMAT MENYIMAK SETIAP ULASAN YANG KAMI SAJIKAN

Jumat, 19 Juni 2015

MENATA PENDIDIKAN DEMI MENGGAPAI HARAPAN

By : Pakdhe U ®


DJ. Pendidikan, khususnya di Indonesia, adalah salah satu sektor yang masih perlu perhatian khusus. Selain karena kualitas sarana, prasarana, dan faktor pendukung lainnya, termasuk terkait Kurikulum yang masih jauh dari kata kelayakan, juga karena beban yang diemban oleh sektor ini dalam menentukan arah Bangsa Indonesia ke depan yang teramat berat.

Membicarakan masalah-masalah yang terkait dengan dunia pendidikan, kita pasti akan dihadapkan pada banyak sekali hal yang saling tumpang tindih, saling sikut menyikut, bahkan boleh dikatakan bagai dihadapkan pada jalur-jalur labirin yang menyesatkan. Kita sering mendengar, bahkan turut menjadi saksi nyata robohnya bangunan sekolah. Entah karena memang sudah usang termakan jaman, atau karena kurang terawat dengan alasan minimnya biaya perawatan. Bahkan bangunan baru yang hanya beberapa bulan berdiri sudah ambruk karena dalam pengerjaan proyek tersebut diwarnai korupsi yang gila-gilaan.

Kita acapkali menyaksikan, atau mungkin ada diantara anak didik kita, saudara kita, bahkan adik kita sendiri, terlibat tindakan kejahatan jalanan. Terlibat tawuran dan keterlibatan-keterlibatan terhadap tindakan negatif lainnya, yang semestinya tidak dilakukan oleh seorang pelajar yang memiliki integritas, dedikasi, dan harga diri yang tinggi.

Kita juga tidak bisa menafikkan beberapa kejadian memalukan yang dilakukan oleh oknum guru, kepala sekolah, dan orang-orang yang seharusnya memberikan contoh tauladan yang baik. Mereka, para oknum ini dengan wajah tertunduk lesu, tertangkap tangan sedang melakukan tindakan asusila, tindakan kurang senonoh, dan tindakan-tindakan lain yang sebenarnya hanya pantas dilakukan oleh binatang.

Membaca ulasan di atas, tentu kita harus kembali merenung lebih dalam. Jauh lebih dalam dari sekedar renungan biasa, untuk mengurai apa yang sebenarnya terjadi. Untuk menggali kesalahan-kesalahan apa yang sudah kita perbuat sehingga hal-hal semacam di atas terjadi begitu saja. Apakah kesalahan itu pantas dibebankan kepada sistem pendidikan kita? Atau justru karena sumber daya manusia kita yang penuh oleh oknum-oknum bejat menjadikan sistem yang sebenarnya sudah baik berubah menjadi nampak tidak baik?

Pendidikan kita memang sudah gagal! (Baca : Raport Merah Dunia Pendidikan) Bahkan mungkin lebih tepat jika dikatakan gagal total! Tentu jika dibandingkan dengan kualitas pendidikan negara tetangga kita. Bahkan jika harus dibandingkan dengan kualitas pendidikan masa lampau, kualitas pendidikan kita saat ini juga masih dikatakan buruk.

Apa namanya jika bukan gagal, saat lulusan sekolah dasar (SD) tidak mampu menghitung perkalian dan pembagian. Memang, ini sifatnya kasuistik, tapi jika dibandingkan dengan masa kecil penulis tentu sangat jauh perbedaannya. Saat penulis masih kecil, semua lulusan SD sudah paham perkalian, pembagian, dan hampir semua materi matematika dasar.

Itu hanya sekedar membahas kualitas lulusan setingkat SD. Bagaimana dengan lulusan SMP, SMA, atau bahkan Perguruan Tinggi? Saya bisa katakan sebelas dua belas, alias sama saja. Saya masih sering menemukan seorang sarjana yang seharusnya memiliki pemikiran maju sesuai dengan level pendidikannya, tapi ternyata pola pikirnya masih terkungkung oleh keterbatasan. Bahkan bisa disamakan dengan kualitas lulusan SMP pada jaman saya masih kecil. (Baca : Sarjana Palsu Salah Siapa?)

Membicarakan pendidikan kurang afdol rasanya jika tidak pula membahas tentang perilaku siswa saat ini. Tentang hilangnya sopan santun siswa terhadap guru, tentang hilang lenyapnya harga diri guru di hadapan siswa saat ini. Yang semua itu sebenarnya dipicu oleh campur tangan pihak lain dalam lingkaran pendidikan.

Saya masih ingat betul, saat masih SD dulu, setiap hari kamis selalu ada pemeriksaan kuku oleh guru kelas. Guru dengan penuh wibawa, menenteng sebuah tongkat rotan sebesar ibu jari, berkeliling memeriksa kuku tangan siswa satu persatu. Sementara, siswa dengan penuh hormat dan sedikit takut, tertunduk menantikan hasilnya. Jika ada satu saja kuku yang terlalu panjang, otomatis tongkat rotan tersebut dipukulkan ke jari yang kukunya panjang. Tidak keras sih, tapi hal itu sangat efektif untuk membuat siswa menjadi disiplin memelihara kukunya dengan rapih. Itu juga diimbangi dengan sang guru sendiri yang kukunya juga pendek, rapi dan bersih.

Kalau sekarang? Kita semua tahu, seorang guru memukul siswa, sekecil apapun, dengan tujuan apapun, selama siswa keberatan, bisa diadukan ke Polisi sebagai bentuk penganiayaan. Ini kemudian yang saya katakan ada pihak lain yang sengaja turut bermain dalam penerapan disiplin dalam dunia pendidikan, dilandasi oleh alasan hak azasi manusia. Seharusnya dunia pendidikan dijauhkan dari lingkaran hukum pidana, karena sesungguhnya sistem pendidikan kita sudah memiliki hukum, aturan, dan tata kelola disiplin tersendiri. Aturan yang ditentukan bersama oleh pihak sekolah, tidak seharusnya dipatahkan oleh hukum pidana.

Mungkin saya salah, tapi setiap sekolah sudah merumuskan aturan, tata tertib yang sudah sewajibnya dipatuhi oleh setiap individu yang tergabung dalam sekolah tersebut. Entah guru, penjaga sekolah, karyawan, terlebih siswa, harus menjunjung tinggi aturan yang sudah dibuat tersebut. Yang melanggar, tentu harus mendapat hukuman sebagai balasan atas tindakan indisipliner mereka. Barulah, ketika hukum aturan sekolah tidak mampu mengatasinya, hukum negara, melalui kepolisian yang bertindak.

Sebagai akibat dari masuknya Polisi dalam lingkaran pendidikan adalah; guru menjadi serba salah. Mau tidak diberi peringatan, jelas-jelas siswa bersalah. Mau diberikan peringatan, sudah pasti terkena pasal kekerasan verbal. Akhirnya, posisi siswa berada di atas angin. Merasa tidak akan ada guru yang berani menegurnya, karena yakin ada Polisi di belakang mereka. Kemudian, bisa kita tebak; siswa banyak yang bertato, berkuku panjang, berambut acak-acakan, brutal, yang lebih parah menjadi tidak respek pada guru, persis seperti preman pengkolan.

Agama saja mengajarkan kekerasan (walau dalam taraf wajar) dalam upaya menegakkan disiplin. Misalnya Islam; membolehkan kita memukul anak yang lalai dalam menjalankan Sholat lima waktu, yang sifatnya wajib bagi anak yang sudah baligh. Tentu tidak serta merta dipukul begitu saja, melainkan ada tahapan teguran. Setelah ditegur lebih dari tiga kali tetap tidak mengindahkan, barulah pukulan itu boleh dilakukan. Itulah, mengapa kemudian kekerasan demi menegakkan disiplin itu harus dilakukan! Karena memang perlu! Bayangkan jika Polisi turut campur dalam pendidikan akhlak (menegakkan disiplin sholat), tentulah akan banyak Ayah yang dipenjara, dan banyak pula anak yang lalai dalam agama.

Akhirnya; apapun yang terjadi kita memang perlu merumuskan suatu formula jitu dalam menata Pendidikan kita. Merumuskan tatanan baru yang murni dan tidak dikebiri oleh kepentingan oknum bejat. Merumuskan aturan yang baku yang tidak dicampuri kepentingan hukum sebagai alasan Hak Azasi. Semua daya upaya diperlukan demi menggapai harapan bangsa yang lebih baik.

Pakdhe U ® | 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar