Ucapan Selamat Datang

SELAMAT MENYIMAK SETIAP ULASAN YANG KAMI SAJIKAN

Jumat, 29 Agustus 2014

Memburu Pesona BOS 2

Oleh : Pakdhe U ®

Jember.id/ Dalam posting sebelumnya : Memburu Pesona Bos 1, sudah saya tuliskan tentang kejanggalan dalam program BOS. Melanjutkan tulisan tersebut, kali ini saya akan kembali menuliskan tentang kejanggalan yang lain. Semoga tulisan saya ini dapat menjadi pencerahan yang lain dan sekiranya bermanfaat.

Perihal Sekolah Penerima BOS

Pesona BOS ternyata sungguh luar biasa. Tidak tanggung-tanggung, dengan adanya kemungkinan mendapatkan kucuran dana dari Pemerintah sebanyak (bahkan sampai) ratusan juta rupiah, tergantung jumlah siswa dan kondisi sekolah yang dilaporkan, banyak sekali pihak yang berlomba-lomba untuk mendirikan sekolah.

Pondok Pesantren, yang notabene merupakan lembaga Pendidikan non formal berbasis religi, banyak sekali yang kemudian ganti haluan atau menambah line up pendidikannya dengan membuka sekolah formal, baik untuk tingkat SD, SMP maupun SMK. Mereka berdalih, jika hanya menggeluti dunia Pesantren tanpa dilengkapi dengan sekolah umum, lambat laun mereka akan ditinggalkan oleh peminatnya.

Di sisi lain, adanya program BOS dari Pemerintah Pusat juga menjadi alasan yang (utama) mereka dalilkan, dengan itikad turut mencerdaskan generasi bangsa. Sungguh niat yang mulia, jika ditinjau dari apa yang mereka niatkan. Tapi, bagaimana dengan kenyataan di lapangan?

Di tempat saya berada, terpantau ada kurang lebih tiga Pondok Pesantren yang kemudian membuka sekolah umum. Satu untuk tingkat SD, satu lagi untuk tingkat SMP dan yang terakhir untuk tingkat SMK. Yang benar-benar saya ketahui hanyalah yang untuk tingkat SD dan SMP, karena tempatnya sangat dekat dan selalu saya lewati.

Beberapa personil dari sekolah tersebut ada juga yang saya kenal dengan baik dan bahkan sering sekali meminta bantuan kepada saya untuk membuatkan ini dan itu, segala sesuatu terkait dokumen sekolah serta konsultasi tentang IT. Mereka itulah yang kemudian menjadi sumber terpercaya saya dalam menulis posting ini.

Salah satu sekolah yang saya maksudkan, selalu menerima dana BOS sebanyak 10 juta rupiah. Berdasarkan peraturan, seharusnya dana yang diterima tersebut digunakan untuk kepentingan sekolah dan siswa. Perawatan berkala, pengadaan bangku, penyusunan program, gaji guru danpengadaan buku siswa.

Tapi lain halnya di sekolah ini, jumlah dana yang sudah terpotong untuk LPJ BOS (baca posting sebelumnya), terpotong lagi untuk membayar upeti kepada petugas UPT Kecamatan (baca lengkap posting ini), ternyata masih dipotong lagi oleh pemilik Yayasan untuk membangun Pondok Pesantren. Sisanya itulah barulah digunakan untuk hal-hal yang seharusnya didanai oleh BOS.

Akibatnya, seluruh personil hanya mendapatkan gaji yang sangat sedikit, meskipun untuk kepentingan LPJ BOS, mereka selalu menandatangani stat gaji fiktif. Kenapa fiktif? Mereka hanya menerima tidak lebih dari Rp.100 ribu per bulan, tapi dalam stat yang  mereka tandatangani gaji mereka bernilai Rp. 500 ribu sampai Rp. 700 ribu.

Ironisnya, karena kekurangan dana setelah dipotong sana sini, keadaan sekolah, khususnya bangku, buku siswa dan alat tulis kantor, menjadi terbengkalai. Ada yang rusak tidak terurus. Keadaan siswa juga demikian. Seharusnya mendapatkan bantuan seragam, sepatu dan kebutuhan sekolah lainnya, mereka terpaksa menuju sekolah dengan seragam bekas, atau baru tapi dengan keadaan seadanya. Miris!

Perihal Sumber Daya Manusia

Tidak berhenti hanya sampai di sini, membicarakan BOS sama halnya dengan membicarakan antara ayam dan telur. Tidak pernah ketemu ujung pangkalnya, sehingga lebih tepat disebut “mengurai benang kusut” atau “menegakkan benang basah.”

Sebagai sebuah Program, BOS tentulah memerlukan adanya Sumber Daya Manusia yang unggul, jujur, pekerja keras dan memiliki integritas baik terhadap tugasnya. Tapi, dari yang saya ketahui,dan mungkin sudah menjadi Rahasia Umum, kebanyakan pihak yang terkait dengan BOS selalu bertindak menyimpang.

Kebutuhan akan adanya LPJ, dimanfaatkan oleh oknum UPT Dinas Pendidikan untuk mempersulit pihak sekolah dalam persetujuan LPJ, serta bekerjasama dengan oknum lain di lingkungan pendidikan membuka celah peluang jasa penulisan LPJ. Akibatnya, LPJ yang sebenarnya amburadul, kacau balau, tidak sistematis, mengandung data-data fiktif dan saling tumpang tindih informasi sekolah satu dengan sekolah lainnya, malah menjadi yang disetujui.

Dengan mudahnya mereka membuat laporan pertanggung jawaban yang hampir sama, namun ajaibnya selalu tanpa masalah. Jumlah dana BOS yang dilaporkan selalu menunjukkan sisa anggaran nol, padahal sebenarnya masih ada anggaran yang tersisa. Mereka berdalih bahwa dana BOS harus dihabiskan tanpa sisa. karena jika tidak maka dana BOS tidak akan cair. Padahal dalam buku panduan penyusunan LPJ BOS, dana bos boleh bersisa dan dimasukkan dalam laporan sebagai sisa anggaran.

Ironisnya, dana tidak terpakai yang tidak masuk laporan tersebut, kemudian menjadi ladang pemerasan bagi oknum UPT. Setiap pengawas datang, pihak sekolah harus menyediakan uang transport ratusan ribu rupiah. Apakah mereka tidak mendapatkannya dari kantor? Belum lagi untuk menjamu mereka dan sebagainya.

Dan, pada saat dana BOS cair, ada lagi oknum yang meminta sebagian dana tersebut untuk rapat, sosialisasi dan segala tetek bengeknya yang nilainya juga ratusan ribu rupiah. Sungguh merupakan tindakan tidak terpuji, maka pantaslah kemudian jika kebanyakan dari mereka (oknum-oknum) itu mendapatkan penyakit berat dan menakutkan seperti diabetes, kanker, liver, jantung dan penyakit dalam lainnya. Kenapa? Karena makanan yang mereka konsumsi diperoleh dengan cara yang tidak semestinya, diperoleh dari keculasan, ketamakan, sehingga menjadikan tidak berkah.

Jika mental kita masih seperti ini, bukan tidak mungkin Indonesia tidak akan mencapai kejayaannya kembali. Niat mulia Pemerintah, dengan meluncurkan program BOS, ternyata harus berakhir dengan penyimpangan penyimpangan seperti ini. Sungguh sia sia trilyunan rupiah anggaran negara hanya menjadi “bancakan” (jawa = kendurian) pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab.

Mereka telah silau oleh pesona BOS yang sangat menggiurkan, sampai sampai melupakan tujuan awal mereka dalam mengelola lembaga pendidikan adalah untuk mencerdaskan generasi bangsa. Mereka tenggelam dalam euforia ketamakan sehingga program Pemerintah yang seharusnya bisa menjadi pelecut semangat mereka dalam mengabdi, malah mereka jadikan ladang penghasilan untuk mengeruk kekayaan pribadi.

Ditulis bukan untuk menghujat atau mencemarkan siapapun juga, melainkan untuk sekedar diketahui dan diharapkan bisa menjadi bahan renungan sehingga dikemudian hari akan ditemukan solusi yang baik atas permasalahan ini.

Pakdhe U ®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar