Ucapan Selamat Datang

SELAMAT MENYIMAK SETIAP ULASAN YANG KAMI SAJIKAN

Minggu, 28 September 2014

Saya Bukan Presiden

Oleh : Pakdhe U ®

JBR/id. Saya punya banyak ide, rencana, dan apalah namanya, di dalam otak. Semua tentang bagaimana seharusnya mengatur negara, bagaimana seharusnya memperlakukan rakyat, dan bagaimana seharusnya menjadi pemimpin. Namun, saya tidak pernah punya kesempatan untuk mengutarakan itu, bahkan kepada orang terdekat pun juga tidak. Selain karena takut nanti dikiranya saya itu gila, mungkin juga memang sebaiknya harus begitu. Tapi, sepertinya sekarang harus dirubah! Setidaknya, dalam post ini saya akan share sedikit tentang semua itu, meskipun saya bukan presiden.

Saya gerah setiap kali mengantar klien ke Rumah Sakit Umum, karena setiap kali itu pula saya selalu menemukan diskriminasi pelayanan antara pasien kurang mampu dengan pasien berada. Baik dari sisi obat yang diresepkan, waktu pelayanannya, maupun sikap petugas-petugas yang melayaninya. Meski sebenarnya sakit yanng dideritanya adalah sama dan identik.

Bagi pasien yang berada (baca kaya), setelah mereka turun dari mobil pribadi mereka yang harganya memiliki nol cukup banyak, bisa langsung menuju loket pendaftaran dan dalam sekejap sudah bisa menuju Poli tempat mereka akan berobat. Tanpa harus menunggu berjam-jam dan memfotokopi berkas-berkas ini dan itu dan sebagainya. Sangat nyaman!

Sementara bagi pasien yang kurang mampu (baca miskin), setelah mereka turun dari mobil carteran, yang kondisinya butut, dan sangat jauh dari kelayakan, atau mungkin turun dari mikrolet, becak, maupun angkutan umum lainnya, setelah tiba di loket pendaftaran masih ditanyakan berkas-berkas ini dan itu serta kartu identitas dan apalah namanya. Masih disuruh untuk memfotokopi semua berkas dan tetek bengeknya itu berangkap-rangkap, yang di tempat fotokopi masih harus antri panjang bagai belut.

Pun,ketika semua berkas sudah ditunjukkan ke loket pendaftaran, dengan dalih memverifikasi data tersebut, mereka masih harus “gut ngonggut(bhs Madura = bengong) dalam waktu cukup lama sambil menahan rasa sakit yang didera. Itupun terkadang masih ada saja berkas yang kurang lengkap atau apalah itu, yang akhirnya menjadikan mereka “bunga kursi” lebih lama (lagi). Mungkin setelah sekian jam,barulah mereka bisa menuju ke Poli tempat mereka hendak berobat.

Itu masih di bagian awal sebuah perjalanan berobat. Belum lagi pada saat menerima resep dokter yang tentu saja berbeda jenisnya meskipun sakit yang diderita adalah sama. Bagaimana pula ketika menebus obat, yang apotiknya pun juga dibedakan. Tentang ini sudah saya bahas dalam post sebelumnya. Dengan adanya diskriminasi tersebut, tentu saja Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia masih sangat jauh dari kata Terwujud!

Saya sempat mempertanyakan adanya e-KTP yang lengkap dengan data biometrik penduduk yang memilikinya. Seandainya saya menjadi presiden, saya akan mengusahakan untuk menambah data yang bisa dimasukkan dalam e-KTP tersebut. Selain sidik jari, pola retina, dan data identitas yang sudah ada, mungkin bisa ditambahkan tentang status sosial mereka.

Idenya begini; pada saat pendataan secara manual, petugas mendatangi rumah penduduk satu-persatu. Memang membutuhkan waktu lebih lama, tapi setidaknya petugas tersebut mengetahui dengan pasti tentang kondisi sosial mereka. Apakah termasuk dalam golongan sangat sejahtera, sejahtera, di ambang sejahtera, kurang sejahtera, atau sangat tidak sejahtera. Peranan petugas ini sangat penting, dan sangat memerlukan kejujuran yang mutlak. Kondisi real itulah yang ditambahkan dalam e-KTP.

Penggunaannya sebenarnya cukup simpel, bagaikan menggunakan sebuah kartu atm di bank. Setiap hendak menggunakan fasilitas layanan umum, seperti Rumah Sakit, Pendidikan dan sebagainya, mereka tinggal menggesekkan e-KTP pada alat yang ada, yang secara otomatis akan menunjukkan tentang status sosial mereka. Jika dalam komputer sebuah loket pendaftaran pasien di Rumah Sakit membaca bahwa pemilik e-KTP yang bersangkutan termasuk golongan kurang sejahtera, yang otomatis harus dibantu pemerintah, secara otomatis sistem akan mengarahkan data tersebut menuju akses jaminan kesehatan pemerintah.

Tanpa harus memfotokopi ini dan itu, pasien bisa langsung menuju Poli tempat berobat. Sistem yang ada yang akan mengurus segala administrasi yang dibutuhkan, termasuk ketika sudah ketemu biaya yang harus dikeluarkan, maka pihak yang menjadi operator jaminan kesehatan nasional pada saat itu juga mentransfer dana sejumlah yang dibutuhkan kepada rekening Rumah Sakit secara otomatis.

Mengenai ketakutan akan penyalahgunaan dan penipuan, manfaatkan saja data biometrik pasien (sidik jari) sebagai pin untuk mengaktifkan sistem secara otomatis. Dengan begitu, saya menjamin tidak akan ada diskriminasi antara pasien kaya dan miskin. Jika mereka adalah pasien kaya, secara otomatis sistem akan mengidentifikasi dan langsung menolak akses ke jaminan kesehatan nasional, yang artinya mereka harus membayar secara mandiri. Bagi pasien miskin, tentu saja tidak perlu membayar sepeserpun karena sudah ditanggung oleh pemerintah.

Sebuah ide yang bagus bukan? Namun, saya bukan presiden! Saya hanya pencari rumput biasa yang memiliki sambilan jadi sopir. Apapun ide saya, kata-kata saya, gagasan saya, dan meskipun itu untuk kebaikan bersama, tidak akan ada yang bakal mendengarkannya. Mungkin…. suatu ketika salah satu dari pembaca blog ini ada yang berkesempatan menjadi presiden, tidak apalah jika ide sederhana saya ini diterapkan.

Ikuti saya di Twitter

Temukan saya di facebook

Intip saya di You Tube

Akhirnya, wassalam….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar