Ucapan Selamat Datang

SELAMAT MENYIMAK SETIAP ULASAN YANG KAMI SAJIKAN

Rabu, 24 September 2014

Dokter Spesialis vs Tukang Pijat

Alakadarnya By : Pakdhe U ®

Jember/id. Membaca judul di atas, tentu anda semua akan bertanya-tanya, kenapa harus dengan tukang pijat? Kenapa bukan dengan dokter spesialis yang selevel? Ini sengaja saya tuliskan demikian, karena memang itu yang menjadi pengalaman saya. Bagaimana dan mengapa?

Sejak awal saya sudah mengatakan jika profesi saya adalah sopir. Tentu, mengantarkan banyak orang dengan beragam kepentingan sudah menjadi santapan saya sehari-hari. Kemana saja mereka memerlukan jasa saya, saya selalu siap mengantarkan. Termasuk juga ketika mereka ke Rumah Sakit sekedar menjenguk pasien atau bahkan untuk keperluan berobat.

Saya Lagi On DutyTerkait dengan mengantarkan orang sakit, saya memiliki beberapa pengalaman yang sepertinya layak untuk saya share di blog ini. Mungkin, hal ini juga menjadi pengalaman orang lain yang seprofesi dengan saya, tapi tidak ada salahnya juga kan?

Sebut saja klien saya ini Ibu T. Beliau menderita penyakit darah tinggi yang sangat akut, bahkan sudah mendekati stroke. Pertama kali saya dimintai tolong untuk mengantarkan beliau ke Puskesmas kecamatan. Dengan menggunakan mobil Carry ST 100, tahun 1987 milik kakak ipar, saya mengantar Ibu T bersama segenap keluarga.

Sesampainya di Puskesmas, saya diminta untuk menunggu beberapa waktu oleh putra putri Ibu T. Setelah menunggu hampir 1 jam, akhirnya salah seorang kerabat keluar dan mengabarkan kalau Ibu T harus dirujuk ke Rumah Sakit Daerah terdekat. Jaraknya sekitar 20 km. Dan saya diminta untuk mengantar rombongan keluarga yang tidak ikut dalam ambulance.

Singkat cerita, Ibu T ternyata harus opname dan ditangani oleh seorang Dokter spesialis syaraf. Membutuhkan waktu 7 hari untuk menjadikan kondisi Ibu T sedikit membaik. Saya katakan sedikit membaik karena hanya sekedar tekanan darahnya saja yang turun, meskipun masih di atas ambang normal. Sedangkan separuh bagian tubuhnya sulit untuk digerakkan. Bahkan untuk sekedar menelan makanan saja masih harus dituntun.

Waktu yang seminggu tersebut,keluarga ini sudah menghabiskan biaya sekitar hampir 2 juta rupiah. Tidak termasuk biaya carter kendaraan saya, meskipun dalam kasus ini saya hanya mengambil sekedar untuk bensin saja. Karena biaya yang sudah terlalu besar untuk ukuran mereka, sementara perkembangan Ibu T juga tetap begitu saja, maka tepat pada hari ke 7 itulah Ibu T terpaksa di ajak pulang.

Tapi, siang hari setelah pulang dari Rumah Sakit, saya dimintai tolong lagi untuk mengantar Ibu T berobat. Kali ini bukan ke Puskesmas, apalagi Rumah Sakit. Melainkan ke tempat praktek seorang Tukang Pijat Syaraf yang tempatnya sekitar 9 km dari rumah. Konon kata orang-orang yang sudah pernah ke tempat itu, banyak yang sembuh. Dan yang paling menarik adalah, Pak P ini tidak pernah mematok tarif pasti, melainkan semuanya sukarela alakadarnya sebatas kemampuan si pasien. Sungguh mulia!

Kami tiba di tempat Pak P, sebut saja begitu, tukang pijat yang saya maksudkan, sekitar jam 1 siang. Itupun kami mendapatkan nomer urut 6 untuk sesi sore. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya sekitar jam 4 sore barulah Ibu T ditangani. 30 menit kemudian Ibu T sudah keluar dari ruang praktek pijat tersebut dengan menunjukkan sedikit perubahan.

Jika sebelum dipijat (pulang dari Rumah Sakit) bibir agak “perot” (bhs. jawa = otot tertarik ke satu arah), dan kaki agak menyeret jika jalan, maka saat keluar dari ruangan itu sangat ajaib bibir Ibu T sudah agak normal dan berjalan sudah tidak perlu menyeret, meskipun masih belum normal banget.

Wow! Saya hanya bisa mengatakan demikian. Mengapa? Seorang dokter spesialis syaraf yang notabene tentulah berpendidikan sangat tinggi dan mahal, memerlukan waktu seminggu hanya untuk menjaga tekanan darah mendekati normal tanpa memberikan perubahan berarti pada visualisasi fisik (baca = masih perot), sementara seorang tukang pijat syaraf, yang memiliki keahlian pijat turun temurun cukup membutuhkan waktu 30 menit untuk memberikan perubahan visualisasi yang berarti.

Empat hari kemudian, saya kembali dipercaya untuk mengantarkan Ibu T mengulang terapi pijatnya. Dan saya sangat takjub, begitu selesai di pijat perubahan yang ditunjukkan cukup dramatis. Bagaimana tidak, saat itu Ibu T sudah bisa berjalan sendiri, meskipun masih dituntun, sudah bisa bicara dengan jelas, meskipun masih lirih, sudah bisa makan sendiri, meskipun tidak cukup banyak. Sungguh amazing!

Saat ini, saatposting ini diketik, kondisi Ibu T sudah hampir 90% dan rencananya 2 hari lagi saya mengantar beliau untuk pijat kembali. Ternyata, dalam kasus ini seorang dokter spesialis sudah benar-benar dikalahkan oleh seorang tukang pijat. Menurut dokter spesialis, penyakit darah tinggi harus menjalani terapi khusus dan memerlukan obat-obatan kimia. Sedangkan bagi seorang tukang pijat, penderita darah tinggi yang sudah mengarah stroke harus diterapi pijat untuk menata urat, otot dan syaraf yang tidak normal, serta dibantu dengan ramuan herbal dalam bentuk jamu tradisional.

Sekarang bagaimana penilaian anda? Bagi saya, siapapun yang memiliki kemampuan untuk menyembuhkan suatu penyakit, entah itu dokter spesialis, ataukah hanya sekedar tukang pijat, tentulah memiliki cara, pandangan, wawasan dan ilmu sendiri-sendiri untuk melakukan semua keahliannya. Kunci dari semua itu adalah; bahwa hanya Allah yang berkenan memberikan petunjuk kesembuhan atas segala penyakit melalui apapun perantara yang dikehendaki-Nya.

Mungkin Allah menunjukkan jalan kepada Ibu T menuju tukang pijat yang hanya menetapkan tarif sukarela alakadarnya, karena kondisi ekonomi beliau yang pas-pasan, dan bukan menuju seorang dokter spesialis syaraf yang tarifnya aduhai (baca = mahal) begitu. Saya yakin, di balik semua peristiwa pasti ada hikmah yang bisa dipelajari.

Wassalam….

Follow twitter @Pakdhe_U | You Tube | Facebook |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar