Ucapan Selamat Datang

SELAMAT MENYIMAK SETIAP ULASAN YANG KAMI SAJIKAN

Sabtu, 27 September 2014

Pilkada Tidak Langsung, Demokrasi Mati?

By : Pakdhe U ®

JBR/id. Akhirnya, tadi malam (26 september 2014)  Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan untuk menyetujui pemilihan Kepala Daerah dilakukan oleh DPR. Keputusan ini sebetulnya merupakan keputusan yang kontroversial, mengingat alasan yang di argumentasikan oleh para anggota Dewan, baik yang pro Pilkada Tidak Langsung maupun Pilkada Langsung.

Namun, dari masing-masing argumen tersebut sebenarnya mengusung misi yang tersembunyi semuanya. Misi tersembunyi tersebut, kemungkinan besar adalah suatu cara untuk mempertahankan kekuasaan, mempertahankan kemapanan, mempertahankan kepalsuan yang selama ini berhasil ditutup-tutupi dengan halus. Memang hanya sebatas kemungkinan, namun semuanya bisa dianalisa dengan berbagai teori.

Pro Pilkada Tidak Langsung

Bagi kubu ini, alasan menghindari besarnya biaya politik bagi calon Gubernur atau Bupati dan menghindari besarnya kemungkinan korupsi bagi para Kepala Daerah yang menggila, adalah poin terpenting bagi mereka untuk kemudian menyetujui adanya wacana pemilihan Kepala Daerah melalui DPR, alias Pilkada Tidak Langsung dalam RUU Pilkada.

Sebuah alasan yang logis, mengingat memang tak terhitung banyaknya Kepala Daerah yang melakukan tindak pidana korupsi. Meskipun sebenarnya banyak juga Kepala Daerah berprestasi yang jujur, kredibel, dan mereka dipilih secara langsung.

Sekarang, apakah yang membuat para Kepala Daerah tersebut melakukan korupsi? Mungkin mereka berbuat hal tersebut demi untuk menutup modal sebagai ganti uang yang selama ini sudah mereka keluarkan untuk keperluan pemilihan Kepala Daerah. Anggap saja selama masa kampanye si calon menghabiskan biaya Rp. 100 Milyar. Maka ketika si calon tersebut berhasil menduduki jabatan Kepala Daerah, dengan segala cara, dengan segala upaya, manipulasi proyek atau apalah bentuknya, mereka kemudian berusaha untuk mendapatkan ganti Rp. 100 Milyar yang sudah mereka keluarkan. Perkara mendapat lebih dari nilai tersebut, itu hanyalah keberuntungan belaka. Perkara kemudian mereka tertangkap, karena kecurangan mereka terungkap, itu namanya sudah apes.

Namun, menurut seorang mantan calon legislatif (calon anggota DPR yang tidak berhasil terpilih) yang kemudian stress, anggota dewan memutuskan hal ini (pilkada melalui DPR) karena mereka juga ingin mendapatkan obyek sapi perahan untuk membalikkan modal mereka selama kampanye Pileg (pemilihan Legislatif). Ingat, anggota dewan yang saat ini memutuskan Pilkada Tidak Langsung adalah merupakan produk pemilihan langsung, yang notabene membutuhkan biaya yang sangat besar untuk maju menjadi anggota dewan.

Seandainya Kepala Daerah yang terpilih adalah dipilih oleh rakyat, maka anggapan para anggota dewan ini adalah, Kepala Daerah tersebut hanya memiliki hutang budi kepada rakyat yang memilihnya. Sementara kepada anggota dewan sama sekali tidak memiliki hutang budi. Akibatnya, anggota dewan tidak bisa serta merta melakukan pemerasan kepada Kepala Daerah. Lalu, hubungan dengan partai bagaimana? Partai hanyalah sekedar kendaraan politik saja.

Pro Pilkada Langsung

Keengganan para Kepala Daerah untuk menjadi sapi perah parlemen, maupun partai mendorong mereka untuk menyetujui pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat. Memang, resikko konflik memang ada, tetapi sisi positif dari adanya pemilihan langsung ini adalah para Kepala Daerah tersebut memiliki rasa hutang budi kepada rakyat yang memilihnya, sehingga diharapkan pembangunan untuk rakyat kemudian diperhatikan. Meskipun tidak menutup kemungkinan adanya celah bagi mereka untuk melakukan tindakan korupsi.

Bagi kubu ini, kedaulatan rakyat yang ditunjukkan melalui pemilihan secara langsung akan berpeluang untuk mati jika kebijakan ini dirubah menjadi pemilihan melalui parlemen. Tidak bisa dibayangkan jika pada pemilu mendatang tidak ada satupun rakyat yang memilih para calon legislatif karena sudah gerah dengan tingkah polah mereka yang mengebiri hak konstitusional mereka untuk memmilih Kepala Daerah secara langsung.

Tidak ada calon legislatif yang terpilih, tentu tidak akan ada parlemen yang terbentu. Tidak ada parlemen, lalu bagaimana jadinya jalan pemerintahan ke depan? Mungkin mereka hanya akan memilih kolom partainya saja, dengan asumsi siapa yang akan ditempatkan di parlemen diserahkan sepenuhnya ke partai. Itupun jika mereka masih percaya dengan partai politik.

Mungkin, dalam benak mereka sempat ada prasangka bahwa ini semua adalah bentuk perlawanan koalisi merah putih yang kalah dalam pertarungan Pilpres yang baru lalu. Seperti saya tulis dalam Posting tanggal 12 September 2014, koalisi merah putih menyetujui pemilihan Kepala Daerah melalui parlemen karena mereka menguasai parlemen. Dengan menguasai parlemen mereka hendak atau memiliki niatan untuk menciptakan Kepala Daerah Boneka yang bisa diperalat, dibentuk untuk menjalankan kepentingan koalisi, dan digadang-gadang bisa menjadi loyalis koalisi yang memilihnya untuk kemudian menggembosi, menggerogoti, dan merusak tatanan pemerintahan Presiden baru nantinya.

Abstain

Saya bukan hendak pro Pilkada melalui parlemen atau Pilkada Langsung. Jujur saja, rakyat kecil seperti saya sudah bosan dengan intrik-intrik politik yang seperti itu. Politik itu memang remang-remang, tidak pernah ada kepastian. Ibarat semut, maka dimana ada tempat penuh gula kesitulah mereka menuju, dimana ada kebijakan yang menguntungkan posisi kekuasaan mereka (mayoritas parlemen), disitulah mereka berjuang untuk menjadikan hal itu sebagai tujuan.

Mau bagaimana para politikus itu bertingkah, bagi rakyat kecil masa bodoh! Yang penting pagi-pagi kerja, ke sawah, ladang, kantor, pasar, pokoknya cari uang untuk cukup makan hari itu, beres. Sore pulang, ketemu keluarga, anak dan malamnya bisa istirahat tenang itu sudah cukup. Ibarat kata, mau jungkir balik seperti apa, silahkan. Mau bertengkar adu debat bagaimanapun, juga terserah, yang penting perut bisa terisi.

Kalau urusan korupsi, menggerogoti uang rakyat, itu karena namanya saja politikus. Poli artinya banyak, sedangkan tikus adalah binatang pengerat yang suka menggerogoti benda-benda atau makanan di lumbung. Jadi, jika dipadukan Politikus memiliki makna seseorang yang lebih banyak memiliki sifat seperti tikus. Atau jika dibuat sebagai penggalan “Poltik” dan “us”; maka artinya menjadi lain. “Politik” memilliki arti kebijakan, strategi, daya upaya, sedangkan “us” dalam bahasa inggris berarti kita. Yang jika dipadankan menjadi bermakna “memberlakukan kebijakan kepada kita, menerapkan strategi untuk kita, dan mendaya upayakan kita”, atau kasarnya memperalat kita.

Entahlah, mana yang benar dan mana yang salah. Yang pasti, keputusan tersebut merupakan keputusan besar yang sangat keliru. Tinggal tunggu waktu saja untuk Indonesia menjadi mati suri, karena Demokrasi sudah tidak lagi memiliki arti. Demokrasi sudah mati…

Wassalam….

follow twitter | join facebook | watch You Tube | 2014.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar