Ucapan Selamat Datang

SELAMAT MENYIMAK SETIAP ULASAN YANG KAMI SAJIKAN

Minggu, 14 Juli 2013

BLSM

Bantuan Langsung Yang Kurang Merata

Oleh : Pakdhe U ®

Jember,IN—BLSM, atau dulu bernama BLT, adalah salah satu bentuk kompensasi dari kenaikan harga BBM. BLSM adalah bantuan berupa uang tunai dengan besaran tertentu yang bersifat sementara, yaitu hanya untuk beberapa bulan saja. Kalau dulu BLT memiliki kepanjangan Bantuan Langsung Tunai, untuk saat ini, BLSM memiliki kepanjangan Bantuan Langsung Sementara untuk Masyarakat Miskin.

Menurut beberapa tetangga saya, yang kebetulan mendapatkan jatah BLSM, padahal yang lebih miskin dari dia lebih banyak, jumlah bantuan yang diterima tidak kurang dari Rp. 300.000,- saja. Cukup? Tentu masih jauh dari kata cukup, kata mereka, mengingat saat ini semua harga kebutuhan hidup meroket begitu tingginya, mengikuti kenaikan harga BBM. Seperti pernah saya singgung dalam tulisan saya sebelumnya, Tsunami Ekonomi, beban rakyat miskin semakin berat mengingat momen kenaikan harga BBM sekaligus menjelang Bulan Ramadhan dan Tahun Ajaran Baru.

Menurut Pemerintah, peluncuran BLSM sudah melalui kajian yang sangat mendalam dan melewati tahapan-tahapan yang sistematis. Dalam artian, setiap siapapun yang berhak menerima bantuan tersebut adalah benar-benar miskin dan layak menerima bantuan (menurut kacamata Pemerintah), karena sebelumnya mereka sudah didata sedemikian rupa. Mungkin itu benar menurut Pemerintah. Tapi, bagaimanakah kenyataan di lapangan?

Apa yang saya sampaikan dalam tulisan ini, tentu tidak bisa dijadikan sebagai landasan secara umum, karena data yang saya gunakan hanyalah sebatas lingkungan tempat saya tinggal. Namun demikian, setidak-tidaknya hal ini menjadi sebagian kecil gambaran yang sangat mungkin terjadi di masyarakat secara luas.

Di Desa tempat tinggal saya, pun di kota Kecamatan, sebagaimana yang disyaratkan oleh Pemerintah, bahwa siapapun yang akan menerima BLSM harus memiliki Kartu Keluarga (KK), serta Kartu Tanda Penduduk (KTP) tentunya. Namun, ternyata ada beberapa orang di Desa saya, khususnya janda-janda tua yang sudah tidak memmiliki KTP maupun KK, dengan alasan sudah lemah dan renta jika harus mengurus sendiri ke Kelurahan.

Karena mereka tidak memiliki apa yang menjadi persyaratan menerima BLSM, sementara pihak Kelurahan tidak menjemput bola untuk memberikan layanan pembuatan KTP dan KK bagi mereka, misalnya dengan memberikan layanan kendaraan gratis untuk mengantar dan menjemput mereka ke Kantor Kecamatan, tentulah mereka luput dari pendataan calon penerima BLSM.

Sekarang begini, kriteria miskin menurut Pemerintah adalah dilihat secara visual dan bukan secara real. Maksudnya begini; masyarakat yang memiliki rumah dengan dinding tembok, berlantai plester atau keramik, atau setidaknya memiliki kendaraan sepeda motor, tidak bisa dikategorikan sebagai miskin. Mereka termasuk golongan Pra Sejahtera maupun Sejahtera 1.

Padahal, di tempat saya ada yang memiliki rumah tembok berlantai keramik dan memiliki sepeda motor, tapi dalam kehidupan sehari-hari sangat susah. Apa yang didapat hari itu, akan habis hari itu juga, ibaratnya. Lalu, bagaimana dia bisa mempunyai rumah berlantai keramik? Dia tidak pernah memiliki rumah, sementara rumah yang dia tinggali itu hanyalah bentuk dari kebaikan seseorang yang meminta dia untuk menempatinya sekaligus menjaga dan merawat setiap hari. Bagaimana dengan sepeda motornya? Itu juga pemberian dari pemilik rumah sebenarnya untuk modal kerja mengojek, sebagai ucapan terimakasih karena rumahnya sudah dijaga.

Secara visual, orang ini termasuk Sejahtera. Tapi jangan salah, secara real, dia termasuk keluarga miskin. Karena untuk makan sehari saja adakalanya tidak mencukupi. Meski dibantu dengan kerja serabutan menjadi buruh maupun kuli, sekalipun. Sekarang, berapa besar sih penghasilan tukang ojek di desa? Dia tidak mendapatkan BLSM.

Di lain pihak, ada yang kelihatannya miskin, karena tinggal di rumah berdinding bambu, berlantai plester biasa sebagian dan berlantai tanah secara umum, tidak memiliki kendaraan apapun. Padahal orang ini cukup mampu karena selalu mendapatkan kiriman dari anaknya yang bekerja di Malaysia dalam bentuk tabungan. Bahkan, dari tabungan tersebut, dia juga memiliki sepetak sawah. Dan berkat rumahnya yang jelek secara visual, dia mendapatkan BLSM. Secara real, seharusnya dia tidak berhak.

Saya tidak ingin berdebat tentang masalah ini, karena memang hal ini tidak debatable dan boleh disebut termasuk satu masalah yang memiliki relatifitas cukup besar. Tapi, bukan berarti saya diam dan menutup mata untuk semuanya. Saya hanya sekedar memberikan gambaran tentang situasi pembagian BLSM di tempat saya yang sepertinya kurang merata. Entah di daerah anda?

Saya melihat di berita televisi, ada beberapa daerah yang dalam pembagian BLSMnya terdapat orang-orang yang menenteng handphone mahal (meskipun mungkin hanya bekas), memakai kalung emas (meskipun mungkin hanya sepuhan), membawa sepeda motor (meskipun mungkin pinjaman) dan berbaju cukup boleh dikatakan baik. Lalu, mengingat di desa saya juga demikian, apakah ini artinya pembagian BLSM memang benar-benar kurang merata? Ini sudah menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah sejak dulu untuk menuntaskan permasalahan ini.

Ingat, rumah bagus belum tentu kaya dan sebaliknya, rumah jelek belum tentu juga miskin. Pemerintah harus lebih jeli dan hati-hati dalam mendata orang-orang miskin di negeri ini. Pertanyaan yang sangat krusial bagi saya adalah, seberapa banyak sebenarnya warga negara Indonesia yang betul-betul miskin? ( Pakdhe U ®/windows live writer/blogger/2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar