Ucapan Selamat Datang

SELAMAT MENYIMAK SETIAP ULASAN YANG KAMI SAJIKAN

Sabtu, 13 Juli 2013

Sinetron Damar Wulan

Contoh Terbaik Pencetak Generasi Pemfitnah

Oleh : Pakdhe U ®

Jember, IN—Beberapa waktu belakangan, masyarakat kita mendapatkan suguhan tontonan berupa sinetron kolosal dari salah satu televisi swasta nasional. Sinetron tersebut berlatarkan jaman kerajaan, tepatnya Kerajaan Majapahit. Semua pasti sudah paham, sinetron yang tayang pada jam utama tersebut berjudul “Damar Wulan.”

Jujur, saya tidak begitu suka dengan sinetron tersebut, meskipun saya akui dalam beberapa hal sinetron tersebut menunjukkan kemajuan teknologi multimedia bangsa Indonesia. Mengapa? Banyak hal yang menjadikan saya sangat tidak suka, diantaranya adalah:

Yang paling menonjol dalam cerita sinetron tersebut hanyalah adegan kekerasan dan kekerasan saja, dari awal scene sampai akhir tayangan. Selain itu, cerita yang ditampilkan lebih menonjolkan sisi buruk sifat manusia, yaitu memfitnah demi untuk memuluskan jalan meraih apa yang diharapkan.

Betul, saya akui secara sinematografi, meskipun saya tidak begitu paham, koreografi adegan peperangan nampak sangat bagus dan bisa membuat penonton geregetan. Namun, porsi yang ditampilkan sangat jauh melampaui ukuran sewajarnya.

Bahkan sampai-sampai mertua saya sendiri mengatakan; “perang maneh perang maneh. Mosok perang gak mari-mari. Pethuk iki perang, pethuk ika perang. Mboseni!” (bahasa jawa = perang lagi perang lagi. Masa perang gak selesai-selesai. Ketemu ini perang, ketemu itu perang. Membosankan!) Belum lagi jika diamati lebih cermat, sangat banyak keganjilan visualisasi grafis yang ditampilkan.

Maaf, saya tidak suka terhadap sinetron tersebut, namun bukan berarti saya tidak mengamati visualisasi sinetron itu. Coba, sekali waktu amati adegan demi adegan yang ditampilkan. Lihatlah latar belakang adegan tersebut? Yang saya lihat adalah; adakalanya adegan berada pada kondisi latar terang karena siang hari. Tapi dalam frame yang sama, tiba-tiba latar berubah menjadi gelap seperti malam. Mungkin saya salah, tapi apa yang saya lihat tidak cukup sekali dua kali.

Yang sedikit menggelitik lagi adalah, ketika terjadi adegan peperangan antar karakter, lokasi perang sepertinya tidak pernah berubah meskipun diceritakan sedang berada di hutan atau di luar istana. Yang paling sering menjadi latar adegan perang adalah tembok yang merupakan dinding istana dan goa batu.

Saya juga sempat mengamati adanya satu orang yang memerankan banyak karakter sebagai figuran. Dalam dunia film itu wajar dan sah-sah saja asalkan terdapat perbedaan make up dan penegasan karakter, tapi yang terjadi dalam sinetron ini, ada seorang figuran yang sepertinya tanpa ubahan make up berarti (cuma ganti kostum) memerankan kusir pedati, pedagang, tabib dan sekaligus prajurit. Hal itu semua hanya dalam satu episode saja. Jadinya lucu dan terkesan kurang pemain, lain halnya jika perubahan karakter dilakukan pada lain episode. Misalnya, dalam episode ini berperan sebagai kusir dan episode berikutnya baru sebagai prajurit.

Terlepas dari keganjilan-keganjilan visual yang saya sampaikan di atas, yang mungkin hanya faktor teknis karena sinetron tersebut termasuk sinetron kejar tayang yang harus sudah siap siar setiap hari. Tentu saya maklum jika pembuat sinetron tersebut tidak memiliki banyak waktu luang untuk melakukan editing yang baik. Saya juga penghobi sinematografi, sehingga cukup paham jika dalam mengedit sebuah film menjadi layak tayang sangat membutuhkan banyak waktu luang. Beberapa diantara karya film saya ada di You Tube, namun demikian, karena keterbatasan bandwith dan kualitas jaringan internet di tempat saya, hanya sebagian kecil saja yang saya tampilkan.

Kembali mengenai sinetron Damar Wulan, bahkan, demi mengejar jam tayang, sepertinya beberapa adegan yang sudah diambil terpaksa dipasang kembali. Maka yang terjadi adalah ketidak sinkronan latar, bahkan kostum pemain. Namun, yang justru lebih mengerikan dari tayangan tersebut adalah porsi yang sangat berlebihan untuk dialog yang “seolah-olah” mengedepankan Fitnah dan Hasut menghasut, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Patih Logender beserta juru nujumnya, Nyi Cemplon. Dalam beberapa episode, saya mengamati bagaimana dua karakter ini berusaha menghasut dan memfitnah serta mengajarkan bagaimana cara memutar balikkan fakta yang baik. Apakah ini bukan merupakan tindakan yang mengkhawatirkan? Belum lagi, menurut orang-orang tua yang gemar cerita pewayangan dan sangat hobi membaca sejarah, cerita tersebut sangat terkesan mengada-ada dan jauh dari pakem.

Ini mengingat sinetron tersebut ditayangkan pada jam-jam anak-anak belajar, alias jam kumpul keluarga. Dan ironisnya lagi, banyak sekali anak-anak yang menyukai sinetron tersebut. Bukan tidak mungkin, lambat laun karakter-karakter pemfitnah sebagaimana ditunjukkan oleh tokoh dalam sinetron tersebut akan membekas dan pada akhirnya menjadi karakter generasi penerus kita. Ini sangat mengerikan bukan?

Satu hal lagi yang perlu saya sampaikan adalah; seharusnya tayangan tersebut masuk dalam kategori dewasa dan harus mendapat pengawasan penuh dari lembaga yang berwenang, dalam hal ini adalah KPI ( Komisi Penyiaran Indonesia ) dan Kemenkominfo ( Kementerian Komunikasi dan informasi ). Bagaimana menurut para pembaca sekalian?(Pakdhe U ®/windows live writer/blogger/2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar