Ucapan Selamat Datang

SELAMAT MENYIMAK SETIAP ULASAN YANG KAMI SAJIKAN

Rabu, 01 Oktober 2014

Bencana Besar Di Awal Dan Akhir Periode SBY

Goresan : Pakdhe U ®

JBR/id. Susilo Bambang Yudhoyono. Siapa yang tidak kenal beliau? Tokoh fenomenal yang muncul menjadi Presiden Republik Indonesia ke 6, setelah berhasil menyisihkan para calon Presiden yang lain, dalam dua putaran pada Pemilu 2004. Fenomenal, karena SBY, begitu beliau biasa disapa, merupakan Presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat.

Tapi, adakah yang mengamati sesuatu hal yang cukup menggelitik di balik masa kepemimpinan SBY selama dua periode ini? Meskipun hal ini tidak mutlak terkait dengan sosok SBY sendiri, tapi setidaknya apa yang akan saya utarakan mungkin bisa dijadikan bahan renungan. Dan tidak haram juga untuk menjadi bahan perbincangan.

Saya mengambil judul di atas, berdasar asumsi bahwa memang pada saat SBY terpilih menjadi Presiden, dan bahkan ketika menjelang hari-hari terakhir masa jabatannya, terjadi bencana yang tergolong besar bagi rakyat Indonesia. Bencana tersebut membawa korban yang cukup besar, dan dampak yang ditimbulkannya juga tidak akan dengan mudah diredam, atau dihentikan.

Saya, dan mungkin hampir sebagian besar masyarakat Indonesia pasti masih mengingat tanggal 26 Desember 2004. Tanggal dimana terjadi sebuah bencana hebat, berupa tsunami besar di Aceh. Kejadian ini hanya berselang beberapa bulan dari pelantikan SBY sebagai Presiden.

Meskipun bencana ini sudah menjadi rahasia Allah, tak urung sangat banyak pihak yang kemudian mengaitkan hal ini dengan naiknya SBY menjadi Presiden. Ada yang mengatakan, 500 ribu nyawa (mungkin lebih) korban tsunami adalah tumbal yang harus ditebus untuk pemerintahan SBY.

Bahkan ada pula yang mengatakan, tidak cukup Aceh yang akan menjadi tumbal pemerintahan SBY, dan sepertinya pendapat ini diperkuat oleh kenyataan bahwa setidaknya telah banyak sekali terjadi bencana dalam skala besar selama pemerintahan SBY. Catat saja; sinabung, situ gintung, erupsi merapi, lumpur lapindo, dan banyak lagi bencana-bencana lainnya.

Saya tidak akan mengaitkan beberapa bencana di atas dengan pemerintahan SBY. Tapi saya hanya akan memberikan sedikit catatan yang menjadi perhatian saya selama SBY memegang kendali pemerintahan. Antara mengawali pemerintahan dengan mengakhiri pemerintahan, rupanya SBY sama-sama memiliki pertanda khusus yang cukup mencengangkan (bagi saya) dan layak menjadi perhatian.

SBY mengawali pemerintahan dengan harus berurusan dengan bencana tsunami Aceh. Meskipun pada akhirnya bencana tersebut membawa hikmah bagi perdamaian di bumi Serambi Mekah (julukan Aceh), namun besarnya biaya pemulihan trauma, pembangunan pasca bencana, dan hal terkait lainnya, saya rasa cukup membuat awal pemerintahan sedikit kewalahan. engan tertatih, dibantu oleh negara-negara sahabat, Pemerintahan SBY mendedikasikan waktunya untuk membangun Nanggroe Aceh Darussalam menjadi (mendekati) pulih sebagaimana sedia kala.

Sementara, pada saat SBY hampir mendekati garis finish pemerintahannya, bencana yang tak kalah hebat juga menghadang. Memberikan preseden buruk bagi pemerintahan SBY, yang kemudian dikatakan hanya meninggalkan warisan sampah kebijakan. Bencana yang saya maksud adalah keputusan anggota parlemen tentang pemilihan Kepala Daerah melalui DPR.

Mengapa ini saya sebut bencana? Karena, demokrasi yang sudah terbentuk demikian indahnya. Rakyat sudah memiliki kepercayaan, harapan yang tinggi, keyakinan akan  masa depan terhadap pemimpin yang mereka tentukan sendiri secara langsung, tiba-tiba harus terjerembab kembali menuju jurang dalam nan gelap permainan kotor para anggota parlemen korup.

Seandainya SBY tidak mencla-mencle, dan sangat tegas memutuskan sikap menolak skema Pilkada melalui DPR, mungkin ceritanya akan menjadi lain. Warisan yang ditinggalkan oleh pemerintahan SBY, tentu akan nampak lebih sedap dirasakan.

Kenyataannya bagaimana? Dalam satu kesempatan, SBY mengatakan di TV Nasional bahwa beliau sangat mendukung Pilkada Langsung oleh rakyat, ini artinya menolak opsi Pilkada melalui DPR. Namun, beberapa saat kemudian, pernyataan tersebut ditambah dengan sepuluh poin syarat yang harus dipenuhi. Dari sini sudah kelihatan jika SBY mulai keluar jalur.

Hingga gong-nya pada saat rapat paripurna tanggal 25 September 2014, ketika seluruh anggota partai Demokrat menyatakan walk out alias abstain dalam pengambilan suara, dengan dalih pengambilan keputusan RUU Pilkada tidak dilakukan dengan cara musyawarah mufakat, melainkan melaui voting. Ironisnya, menurut dugaan pengamat langkah para kader Demokrat ini diambil atas arahan SBY. Jika ini benar (arahan dari SBY) berarti sangat jelas sekali jika pada akhirnya SBY benar-benar akan meninggalkan warisan Demokrasi Yang Mati.

Lihat saja kemudian, reaksi lantai bursa yang negatif, reaksi nilai tukar yang melorot, demontrasi massa, meskipun begitu, para anggota dewan yang (konon katanya) terhormat masih teguh memegang keputusannya untuk merubah sistem pemilihan Kepala Daerah dari langsung oleh rakyat menjadi dipilih oleh DPR. Ini adalah bencana demokrasi terbesar dalam sejarah Indonesia.

Indonesia semestinya malu dengan keputusan yang diambil oleh Parlemen tersebut. Sudah sepantasnya jika masyarakat dunia kemudian menyoroti lelucon yang tidak lucu di akhir masa pemerintahan SBY. Betapa tidak, SBY terpilih secara langsung menjadi Presiden, kemudian berhasil membangun atmosfer demokrasi langsung oleh rakyat. Atmosfer demokrasi yang nyata-nyata memberikan harapan dan kepercayaan penuh rakyat kepada pemimpin yang dipilihnya sendiri.

Namun ketika masa jabatannya sudah mendekati berakhir, justru tindakan konyol yang lebih pantas dilakukan oleh seorang pengecut yang dilakukannya. Entah mendapat bisikan dari mana,yang pasti keputusan itu sudah diambil dan menuai kontroversi. Maka tepatlah lirik lagu kau yang memulai, engkau yang mengakhiri, dipersembahkan untuk beliau. Sungguh sangat ironis.

Wassalam…

follow twitter | find facebook | see you tube | 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar