Ucapan Selamat Datang

SELAMAT MENYIMAK SETIAP ULASAN YANG KAMI SAJIKAN

Kamis, 01 Agustus 2013

Kamar Kristal

Fiksi Oleh : Pakdhe U®

Jam di atas pintu, sudah lama tidak berfungsi. Entah mesinnya rusak, atau hanya baterainya yang mati, aku tidak pernah sempat memeriksanya. Selama ini aku hanya mengandalkan penunjuk waktu yang ada di telepon genggam, karena aku juga tidak terbiasa menggunakan jam tangan. Entah orang macam apa aku ini. Hanya sekedar memakai jam tangan saja begitu risih rasanya.

Pagi itu, aku menemukan secarik kertas terselip di bawah pintu depan, entah jam berapa datangnya, siapa yang meletakkannya di situ, yang pasti kertas tersebut semacam undangan. Aku ambil dan aku letakkan begitu saja di atas lemari es. Istriku yang tahu aku menaruh sesuatu, hanya tersenyum.

“ Apa itu Yang? ”, tanya dia kemudian.

“ Kurang tahu ya, mungkin undangan atau apalah.” jawabku.

Istriku kemudian mengambil kertas itu. Wajahnya nampak serius membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di situ, sambil tangan yang satunya masih menenteng tempe yang baru diambilnya dari lemari es.

“ Undangan reuni, Yang.” Kata dia kemudian.

“ Masa’? Dimana? “ Sahutku.

“ Iya! Di Malang. Masih minggu depan kok.” Lanjutnya.

“ Kalo minggu depan, sepertinya aku nggak bisa, deh. Kan sabtu besok ini aku ke Jogja?” Kataku sambil mengambil lembaran kertas tersebut, meyakinkan jika memang undangan reuninya minggu depan.

“ Apa ke Jogjanya gak bisa dibatalin?” Kata istriku.

“ Ya enggak lah!, aku kan sudah terima DP.” Aku selama ini, selain menjalani kehidupan bertani juga mengoperasikan jasa carter kendaraan. Ya, aku selama ini menjadi sopir.

“ Biar Rahmat saja yang gantikan bawa.” Usul istriku.

Sebenarnya aku memang sangat ingin menghadiri reuni tersebut. Ada satu hal yang sangat ingin aku lakukan, dan semoga saja apa yang aku harapkan memang ada. Tapi, bagaimana dengan Jogja? Apa sebaiknya aku terima usul istriku?

“ Yang? Kok diam?” Tegur istriku.

“ Apa kata nanti lah! Biar aku tanya Rahmat dulu.”

Setelah itu, aku langsung menuju ke rumah Rahmat. Di sana aku menyampaikan harapanku agar dia mau menggantikanku mengantarkan rombongan ke Jogja. Tanpa perlu berpikir lama, ternyata Rahmat langsung menyanggupinya.

Ini berarti, aku jadi ke Malang. Ah, Malang. Kota yang penuh goresan cerita. Tiba-tiba anganku terlayang ke waktu sepuluh tahun lalu, saat dimana aku mengenal Safhir, gadis cantik keturunan Arab, yang sekarang entah ada di mana. Aku sangat berharap, dia datang pada reuni itu.

***

Akhirnya, tepat jam 7 pagi, aku sampai di Gedung Serbaguna, tempat reuni diadakan. Setelah aku parkir mobilku, segera aku mengisi buku tamu sambil melihat daftar tamu yang hadir. Ternyata, tamu yang hadir masih sangat sedikit. Namun aku terpaku pada satu nama yang tertulis di situ, Safhir. Ya, Safhir ternyata sudah datang lebih dulu.

“ Pandu ya?” Tegur seseorang dari belakang. Sepertinya aku sangat mengenal suara itu. Aku langsung menoleh, dan ternyata benar, dia adalah Safhir.

“ Bukan orang yang Kamu harapkan?” Jawabku setengah tertegun.

“ Ah, Pandu. Tetap saja seperti dulu! Siapa yang kamu maksud dengan orang yang tidak aku harapkan?”

“ Aku!” Tukasku. “ Bukannya dulu kamu tidak pernah mengharapkan aku?” Lanjutku.

“ Itu dulu…”

“ Kalau sekarang?” Potongku.

Safhir tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya tersenyum simpul. Sebuah senyum yang masih sama dengan senyum dia sepuluh tahun lalu.

Kami kemudian menuju sebuah meja di sudut ruangan, setelah bersalaman dan bertemu dengan teman-teman yang lain. Di meja itu, hanya kami berdua, karena memang kursi yang tersedia hanya dua. Kami melanjutkan obrolan tentang masa lalu yang pernah dilewati bersama. Kadang-kadang kami tergelak tertawa jika mengingat kekonyolan masa itu.

Kami asyik saja ngobrol seolah tidak sedang berada dalam suatu acara reuni. Banyak hal yang kami bicarakan, termasuk tentang keluarga, anak dan pekerjaan.

Tiba-tiba, “ Aku bosan di sini. Kita keluar saja Pandu. Jalan-jalan.”

Usul Safhir cukup mengejutkan aku. “ Bolehlah!” Aku setuju saja, seolah tidak ingin kehilangan kesempatan berdua dengan Safhir.

Aku ajak dia ke alun-alun kota. Dibawah rindangnya pohon beringin di sisi timur alun-alun, kami melanjutkan cerita.

“ Safhir, ada satu hal yang sangat ingin aku tanyakan padamu, Bolehkah?

“ Tentang apa?”

“ Seratus purnama! kamu masih ingat itu?”

“ Itu sudah sepuluh tahun yang lalu, Pandu! Tentunya aku sedikit melupakannya.”

“ Sedikit melupakannya, bukan berarti tidak ingat sama sekali toh?

Dia hanya terdiam.

“ Kenapa kamu tanyakan itu, Pandu?

“ Bukannya waktu sepuluh tahun akan mengikis semua kisah tentang seratus purnama dalam dirimu?” Lanjut Safhir.

“ Aku tetap seperti dulu. Tetap menyimpan kenangan seratus purnama, karena semua hal itu masih aku simpan dalam…..”

“ Kamar kristal! Itu kan yang kamu  maksud?” Potong Safhir.

“ Aku tidak tahu apa itu kamar kristal. Apa itu seratus purnama. Yang aku tahu, aku masih tidak paham dengan kamu.” Lanjut Safhir.

“ Sampai saat ini?” tanyaku.

“ Ya, sampai detik ini! Aku sangat mengenal kamu, Pandu. Tapi aku tidak pernah bisa memahami dirimu!”

“ Apa semua ini tentang cinta?” Tanyaku, penuh selidik.

“ Entahlah.” Dia terdiam.

“ Jujur, aku datang ke reuni ini berharap kamu ada di sana. Dan ternyata kamu memang ada.” Lanjut Safhir lagi.

“ Rupanya harapan kita sama, aku juga sangat berharap kamu ada untuk menyelesaikan semuanya.” Sahutku.

“ Aku merasa sangat bodoh.” Gumam Safhir.

“ Kenapa?”

“ Entahlah, Ndu. Sepertinya semua sudah terlambat. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Seandainya semua kembali seperti saat sepuluh tahun lalu…”

Kami terdiam, terhanyut dalam pikiran masing-masing. Lalu lalang kendaraan meningkahi keterdiaman kami.

“ Bagaimana kalau satu hari ini kita selesaikan semuanya? Kita ulang kembali masa sepuluh tahun lalu itu, saat ini juga?” Usulku, memecah kebisuan.

“ Maksudmu, Ndu?”

“ Aku akan menanyaimu satu hal yang sama seperti sepuluh tahun lalu. Aku buka kamar kristal dalam hatiku dan biarlah semuanya berjalan begitu saja.”

“ Apa itu artinya kamu akan nembak aku lagi?”

“ Memang itu yang sangat aku harapkan.”

“ Bagaimana dengan Istrimu, Ndu? Bagaimana juga dengan suamiku?”

“ Satu hari ini saja, dan semuanya akan baik-baik saja. Percayalah!”

“ Aku sepertinya tidak bisa.”

“ Aaah, Safhir. Aku tahu, kamu sangat berat, tapi aku juga sangat ingin kita menyelesaikan semuanya. Aku janji, jika semuanya selesai, akan aku simpan kembali kenangan hari ini dalam kamar kristal secara permanen.”

“ Safhir, aku hanya ingin tahu apakah kamu memang benar-benar tidak mengharapkan aku? Hanya itu saja!” lanjutku kemudian.

“ Pandu, aku sangat mengerti perasaanmu waktu itu. Tapi aku terlalu naif untuk memahami kamu. Kamu sangat aneh dan membuat aku takut. Meski sebenarnya perasaan cinta itu memang sempat ada.” Jawab Safhir.

“ Tapi, setelah sepuluh tahun berlalu, aku menyadari kalau aku sangat bodoh menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku, ternyata sangat merindukanmu, meski aku sudah mempunyai suami dan anak.” Lanjut dia.

“ Apa ini artinya, kamu menerima cintaku, Safhir?

“ Untuk hari ini saja. Setelah itu kita lupakan semuanya. Kita lupakan seratus purnama. Kita lupakan kamar kristal. Aku hanya ingin menikmati kenangan mencintaimu dalam satu hari ini saja.”

“ Tidak apalah walau cuma satu hari ini. Toh setidaknya aku sudah mendapatkan cintamu dan kamar kristalku akan terkunci untuk selamanya.” Jawabku sambil meraih tangan Safhir.

“ Ndu?”

“ Apa?”

“ Apakah kita berdosa pada suami dan istri masing-masing, setelah kita selingkuh hari ini?”

“ Itu jelas! Tapi aku pikir jauh lebih baik begini daripada kita masih memendam masalah yang tidak terselesaikan. Malah kita lebih berdosa ketika berhubungan dengan pasangan kita, tapi angannya melayang ke orang lain.”

“ Mungkin kamu benar!”

Akhirnya, kami menghabiskan waktu hari itu hanya berdua. Berpacaran dan mengulang kembali cerita masa lalu yang sempat hilang terkunci dalam kamar kristal. Meskipun, pada malam harinya kami sepakat untuk putus selamanya.

Setidaknya, kami sudah mendapatkan apa yang seharusnya kami dapatkan sepuluh tahun lalu, yaitu keindahan cinta.

***

Jam di telepon seluler sudah menunjukkan angka 3 dinihari. Aku sudah sampai kembali di rumah. Dengan hati-hati aku buka pintu, dan ternyata Istriku tertidur di sofa. Sepertinya dia memang menunggu kedatanganku.

Esok paginya…

“ Bagaimana Yang, reuninya!” Tanya istriku saat sarapan.

“ Seru!”

Aku bersyukur, aku memiliki istri yang baik seperti dia. “ Maafkan aku sayang, sehari kemarin aku sudah selingku di belakangmu.” gumamku dalam hati.

****Tamat***

Pakdhe U®/windows live writer/blogger/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar