Ucapan Selamat Datang

SELAMAT MENYIMAK SETIAP ULASAN YANG KAMI SAJIKAN

Senin, 02 April 2012

Jalan Panjang Meraih Keadilan

Oleh : Pakdhe U®

Jember-IDN. Kata keadilan, adil, cukup mudah untuk diucapkan. Namun, untuk implementasinya ternyata tidak semudah mengatakannya. Adil bagi sebagian orang, belum tentu adil juga bagi sebagian orang yang lain. Padahal, makna adil sendiri adalah equal, seimbang dan tidak ada satupun yang dirugikan. Jadi, jika ada sebuah keputusan yang dikatakan adil namun masih menyisakan tanya bagi sebagian orang yang menganggap belum adil, maka keputusan tersebut lebih tepat disebut timpang atau belum adil.

Ternyata juga, keadilan diidentikkan dengan besaran nilai rupiah yang disetorkan sebagai upeti kepada para penegak hukum. Sudah jamak di masyarakat, jika ingin perkaranya menang atau setidaknya diputuskan menang di pengadilan, sejumlah nilai rupiah harus disiapkan sebagai upetinya. Bahkan, tidak urung apa yang diperjuangkan di pengadilan tersebut tidak bisa dinikmatinya.

Penulis pernah mengikuti sebuah kasus sengketa Pemilihan Kepala Desa dari tingkat pengadilan pertama sampai tingkat ketiga. Pada pengadilan pertama, pemenang Kepala Desa yang digugat oleh pihak yang kalah selisih satu suara dalam Pilkades, dimenangkan oleh pengadilan. Kemenangan ini tentu bukan tanpa biaya. Pengacara yang digunakan jasanya, mengutip biaya dengan nilai jutaan, plus biaya ekstra yang katanya untuk melicinkan kemenangan.

Merasa tidak puas, penggugat naik ke pengadilan tingkat berikutnya yaitu banding. Mungkin, karena nilai rupiah yang disetorkan lebih banyak atau mungkin juga karena pengacaranya lebih licin, maka pada tingkat ini penggugat yang meraih kemenangan. Tergugat tentu tidak tinggal diam. Tergugat yang notabene merupakan pemenang Pilkades, melangkah ke tingkat berikutnya dengan modal rupiah yang lebih tebal. Bisa ditebak, dalam tahap ini pihak tergugat yang menang.

Mungkin karena sudah kehabisan modal, konon katanya sampai menjual beberapa petak sawah dan sebuah rumah, pihak penggugat menyerah begitu saja dan memberikan kemenangan kepada pihak tergugat. Meski begitu, bukan berarti masalah sudah selesai. Pihak tergugat memang benar-benar menjabat sebagai Kepala Desa, namun sudah tidak mempunyai apa-apa lagi.

Tanah bengkok, yang menjadi haknya, sudah digadaikan untuk membiayai seluruh kebutuhan perkara. Itupun masih menanggung hutang sampai ratusan juta. Tepatnya sekitar Rp. 250.000.000,- untuk modal mencalonkan diri menjadi Kepala Desa. Jadi, menjadi Kepala Desa hanya memperoleh kebanggan belaka, sedangkan kekayaan harus direlakan hilang tanpa bekas.

Penulis juga pernah mengikuti sebuah kasus sengketa tanah yang hampir mirip. Mengapa hampir mirip? Karena pola persidangannya tetap dan tidak berubah, yaitu tingkat pertama penggugat dimenangkan. Tingkat selanjutnya penggugat dikalahkan. Tingkat selanjutnya penggugat kembali dimenangkan. Terus seperti itu sampai ada pihak yang menyerah karena kehabisan rupiah. Dalam kasus sengketa tanah ini, pihak tergugat terpaksa menyerah setelah menghabiskan dana sampai sekitar Rp. 300.000.000,- dan ironisnya, pemenang dalam perkara ini juga tidak mendapatkan tanahnya. Karena setelah dia mendapatkan tanahnya, tanah tersebut dia jual untuk membayar pengacara dan kebutuhan siluman lainnya dalam persidangan.

Dalam dua kasus di atas, yang diuntungkan tentulah para pengacara, baik dari pihak tergugat maupun pihak penggugat. Klien mereka menang atau kalah, mereka tetap mendapatkan penghasilan yang luar biasa. Mereka tidak perduli, meskipun semua biaya yang dibayarkan kepada mereka adalah hasil menggadaikan, menjual obyek mata pencaharian atau hasil hutang. Seolah, bagi mereka menang atau kalah tetaplah menjadi kaya. Boleh dikatakan, mereka kaya dari hasil penderitaan orang lain.

Bahkan ada seorang sahabat “tukang rumput” yang lain yang mengatakan, “enak jadi pengacara, kerjanya ngomong ngalor ngidul dan ngotot, tapi penghasilannya luar biasa”. Penulis tidak mengomentari pernyataan tersebut, namun ini bisa menjadi indikasi bahwa untuk meraih keadilan, kita harus merelakan seluruh harta kekayaan kita diberikan untuk memperkaya para penegak hukum. Ingin menang atau kalah, sama saja.

Kemudian penulis ingat kasus lain. Kali ini ada seorang sahabat yang tertimpa musibah kecelakaan lalu lintas. Sepeda motornya menyerempet pengendara sepeda angin yang membawa beban rumput berlebihan dan tiba-tiba menyeberang tanpa memberi tanda. Peristiwa tersebut terdengar oleh Polisi, sehingga Motor dan Sepeda angin harus dibawa ke polres. Ironisnya, kejadian motor dan sepeda tersebut dibawa petugas setelah pihak yang menabrak maupun yang ditabrak sudah menyelesaikan secara kekeluargaan.

Sahabat penulis yang menabrak menjamin pemberian ganti kerugian yang layak dan pihak yang ditabrak juga menerima dengan ikhlas, tercantum dalam pernyataan bermaterai. Entah siapa yang melapor, mungkin tetangganya ada yang jadi polisi, tiba-tiba datang petugas menyita motor dan sepeda angin tersebut.

Dengan berbekal surat pernyataan yang dibuat sebelumnya, penulis mengantarkan sahabat ini mengambil sepeda motornya di Polres. Ternyata, biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp. 2.700.000,- tanpa tanda terima, dengan dalih untuk biaya perkara di pengadilan. Enak betul ya? Kita yang celaka, kita yang menanggung kerugian, kita sudah sepakat damai, eh, mereka dengar, mereka bawa motor kita hanya semalam, mereka dapat uang jutaan.

Pantas saja dulu nenek penulis sering mewanti-wanti alias menasehati; “jangan sampai kamu berurusan dengan Hukum. Jangan pernah bercita-cita menjadi aparat penegak hukum.” Ternyata benar adanya, berurusan dengan hukum sama halnya mendapatkan setumpuk kesialan meskipun tujuan kita untuk mendapatkan keadilan. Sedangkan menjadi aparat penegak hukum, sama halnya kita menceburkan diri kita untuk tergoda dan bermain-main dengan hukum yang pada akhirnya merugikan orang lain.

Catatan: Tidak Semua Penegak Hukum itu Bejat, namun sistem yang ada yang merefleksikan seolah-olah semua penegak hukum itu bermasalah.

Sumber: Pengalaman Pribadi.

Hukum hanya akan menjadi tulisan tanpa makna, jika pihak-pihak yang seharusnya menjunjung tinggi hukum, lebih terpaku pada hukum rupiah”. (Pakdhe U®)

^^ AYO HENTIKAN PERANG DI MUKA BUMI ! ^^

Penulis : Pakdhe U | Editor : Pakdhe U | Blog Client : Windows Live Writer 2011 | Copyrights © 2012/04.02-0729 @ www.pakdheu.blogspot.com

ARTIKEL TERBARU >

Tidak ada komentar:

Posting Komentar