Ucapan Selamat Datang

SELAMAT MENYIMAK SETIAP ULASAN YANG KAMI SAJIKAN

Jumat, 03 Mei 2013

Belajar Tentang Sesuatu Yang Abstrak

Anatomi Kepuasan

Oleh : Pakdhe U®

Jember—INA. Kata puas, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah identik dengan tercukupi, lega, pas dan cocok. Namun, puas juga bisa diartikan sebagai bentuk rasa yang tidak bisa digambarkan, dideskripsikan dengan jelas dan dipadupadankan dengan kalimat apapun. Percaya atau tidak, tingkat kepuasan seseorang antara satu dengan yang lainnya ternyata adalah tidak sama. Perbedaan tersebut ternyata juga dipengaruhi oleh tingkat emosional, kesejahteraan dan pendidikan masing-masing individu tersebut.

Meskipun tingkat pendidikannya sama, belum tentu juga memiliki tingkat kepuasan yang setara. Contohnya; ada dua orang sarjana ekonomi, dalam memilih kendaraan harian, antara satu dengan yang lainnya pasti akan berbeda. Memang ini sudah masuk ke ranah selera, namun tingkat kepuasan yang dicapai pasti akan berbeda. Sarjana yang satu akan cukup puas menggunakan motor, dengan alasan ekonomis, lincah dan praktis. Sementara Sarjana yang satunya baru bisa merasa puas kalau menggunakan sedan saloon, dengan alasan lebih prestise, nyaman dan mewah.

Ada lagi contoh; kali ini adalah atas dasar kesamaan gender. Ada dua wanita lajang yang sama-sama penghobi masak. Satu wanita sangat puas dengan hasil kue karyanya, meski tanpa hiasan coklat di atasnya. Sementara wanita yang satunya belum pernah merasa puas jika belum ada hiasan coklat di atas kue karyanya. Lalu, apa sebenarnya definisi dari kepuasan itu? Relatif. Semuanya sangat relatif.

Nilai kepuasan atas sesuatu, atas segala hal dan atas apapun juga, termasuk tentang pelayanan umum, sepenuhnya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari karakter individu manusia. Benar, ada yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak pernah merasa puas. Namun jangan lupakan satu hal, bahwa meskipun manusia tidak pernah merasa puas, kepuasan itu pasti akan menyentuh batasnya. Kapan? Ketika manusia sudah tidak lagi memiliki kemampuan untuk meningkatkan tingkat kepuasannya. Mungkin karena keterbatasan ekonomi, keterbatasan ilmu, keterbatasan waktu dan keterbatasan-keterbatasan lainnya, yang memang keterbatasan itu merupakan sebuah kewajaran bagi manusia.

Pernah main game? Meskipun anda sudah berhasil menyentuh level tertinggi, adakalanya anda belum puas bukan? Dan masih ingin terus meningkatkan level meskipun tingkat skill anda terbatas sampai pada level tersebut. Hasil akhirnya adalah anda cukup merasa, atau harus terpaksa puas dengan hasil tersebut. Ini adalah contoh kepuasan yang tertahan karena keterbatasan kemampuan. Benar?

Anda bisa menyopir? Pernah bermimpi punya kendaraan yang mewah sendiri? Tapi karena keterbatasan ekonomi, anda harus terpaksa puas mengendarai atau menyopiri mobil sejuta umat, bekas lagi, meskipun dalam benak anda ada keinginan untuk mengendarai mobil sport mewah.

Atau, jika anda seorang guru; apakah anda sudah puas dengan pekerjaan anda? Hanya seorang guru dan bukan Kepala Sekolah? Saya yakin, meskipun anda cukup puas dengan pekerjaan sebagai guru saja, pernah suatu ketika ada keinginan untuk menjadi Kepala Sekolah. Tapi sayang, karena keterbatasan kemampuan dalam memimpin, maka keinginan tersebut harus terkubur dalam dan sampai di situlah batas kepuasan anda.

Andai saja semua parameter kepuasan tersebut diterapkan dalam bidang religi, yang pada kenyataannya banyak yang tidak menerapkannya, tentu nilai spiritual kita akan sangat baik. Bayangkan; ketika kita tidak merasa cukup puas dengan ibadah kita sehari-hari, maka akan ada upaya untuk meningkatkan nilai ibadah kita sampai batas kepuasan maksimum kita. Misalnya, dengan menambah amal kebaikan, dengan meningkatkan silaturahmi kebaikan sesama, dan melakukan hal-hal lain yang lebih bermanfaat tentunya terkait dengan keyakinan ibadah kita.

Jika sebelumnya kita hanya ibadah wajib saja tanpa ada ibadah yang lain, maka kita akan lebih puas jika kemudian ditambah ibadah sering menyantuni anak yatim. Dan akan lebih merasa puas lagi jika ditambah lagi sering menyantuni para fakir miskin, dan lain sebagainya. Hasil akhirnya adalah kesinambungan ibadah akan terjaga.

Ingat, manusia tidak akan pernah merasa puas atas segala hal. Kepuasan yang didapat mungkin hanyalah keterpaksaan karena keterbatasan. Karena sudah menjadi sifat dasar manusia perasaan tidak pernah puas itu. Semoga bermanfaat dan sampai jumpa pada tulisan selanjutnya.

Pakdhe U®/Blogger/Windows Live Writer/Copyright©2013-0305.

Sumber : Pendapat Pribadi

ARTIKEL TERBARU >>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar