Ucapan Selamat Datang

SELAMAT MENYIMAK SETIAP ULASAN YANG KAMI SAJIKAN

Sabtu, 30 November 2013

Dimana-mana Ada “Tikus”

Something Else : Pakdhe U ®

Jember.id.. Membicarakan tikus, biasanya identik dengan sesuatu hal yang menjijikkan, sesuatu tentang penggerogotan dan kadang juga dikaitkan dengan penyakit menular. Umumnya, tikus dikaitkan dengan tindakan yang bersifat penggelapan, pungutan liar maupun ketidakjujuran. Tikus, secara kasar dilekatkan pada sosok seorang yang korupsi.

Membaca judul di atas, timbul pertanyaan; apakah tempat kita memang parah, sampai-sampai ada tikus dimana-mana? Tapi, tikus dalam judul tadi adalah sebuah bahasa kiasan yang merujuk pada oknum koruptor, pemeras dan pemungut liar, yang notabene memang tersebar dimana-mana.

Sekarang, janganlah kita menjadi munafik atau menafikkan diri terhadap kenyataan yang ada. Jangan pula kita mencoba menutup-nutupi apa yang sangat jelas terlihat diantara kita. Jangan pula kita menjadi naif dan pura-pura tidak tahu dengan kenyataan yang sudah menjadi rahasia umum ini.

Tahun depan adalah tahun politik bagi Indonesia. Bukan tidak mungkin, mulai saat ini sudah ada gerakan-gerakan yang bertujuan untuk mendulang suara pada Pemilu nanti. Para team sukses calon atau bakal calon yang maju, dengan atau tanpa sepengetahuan si calon atau bakal calon, sudah mulai melaksanakan pendekatan-pendekatan material ke calon pemilih potensial. Ini artinya, dengan menggunakan bahasa halus, Tikus-tikus sudah mulai bergerilya melakukan politik uang. Catatan: Tidak semua calon dan bakal calon melakukan tindakan ini!

Beralih ke bidang lain; pendidikan. Jual beli kedudukan Kepala Sekolah, Kepala UPT dan beberapa jabatan Struktural lainnya, sepertinya sudah menjadi hal yang umum, meskipun tidak terlihat secara nyata. Ada beberapa kasus yang mengindikasikan hal ini; satu orang yang jujur dan jauh dari lingkaran birokrasi, cerdas secara alami dan sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin; ternyata pada kenyataan di lapangan harus rela tunduk pada rekannya yang lebih dekat ke lingkaran birokrasi, lebih berbobot (baca: tebal dompetnya), meskipun secara intelektual tergolong standar.

Di bagian lain, LPMP (Lembaga Peningkatan Mutu Pendidikan) yang bertugas untuk menuntun para pendidik untuk menjadi lebih tinggi tingkatan profesionalitasnya, ternyata juga gatal ikut bermain-main ala tikus. Dengan halus mereka menawarkan jasa pembuatan PTK (Penelitian Tindakan Kelas; Sejenis karya tulis untuk prasyarat kenaikan pangkat/golongan) dengan menyebutkan sejumlah biaya yang dikatakan untuk penggantian materi dan administrasi. Yang tergiur dengan tawaran ini, harus merelakan 5 juta rupiah untuk mendapatkan nilai kredit poin sempurna.

Sedangkan bagi mereka yang “lurus-lurus” saja, memilih menyusun sendiri PTK, harus menerima kenyataan nilai kredit poin mereka hanya 1 atau nol, meskipun sebenarnya karya mereka termasuk baik. Sedangkan bagi yang mampu memberikan sedikitnya 1 juta, angka kredit untuk PTK yang diperoleh hanyalah 1 saja.

Hiruk pikuk pendataan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) juga mengguratkan sepenggal cerita tentang tikus-tikus kantor. Operator sekolah yang merasakan kesulitan untuk mengisi data yang diperlukan untuk sinkronisasi Dapodik, harus rela menghadapi kenyataan bahwa pihak Operator UPT Kecamatan siap mengerjakan input atau revisi data yang dimaksud, tapi kesiapannya tersebut diikuti dengan bisik-bisik tentang adanya biaya administrasi yang besarnya tergantung kesepakatan namun dihitung per kepala siswa dari sekolah yang diupdate datanya. Andaikan sebuah sekolah memiliki siswa 100 orang dan biaya yang dikutip hanya 10 ribu per kepala, ini artinya tikus tersebut meraup pendapatan satu juta rupiah?!

Ada juga cerita tentang pungutan tidak resmi bagi para penerima tunjangan profesi yang besarannya antara 500 ribu sampai 1 juta, dengan dalih pemerataan bagi mereka yang belum mendapatkan sertifikasi. Bahkan ada daerah yang sengaja menunda pencairan tunjangan ini selama beberapa bulan untuk didepositokan, untuk meraup bunga dari deposito tersebut. (diceritakan oleh oknum pelaku yang pernah bertemu saya dan mengira saya hanya tukang rumput biasa) Pelakunya kebetulan petugas Bank yang bekerjasama dengan pihak UPT. (Catatan: Kebenaran versi ini masih perlu diragukan, karena saya dan atau kolega saya tidak mengalami sendiri).

Ada juga cerita tentang Pak kampung yang dengan lahapnya meminta sejumlah uang (nilainya tidak tentu, tergantung keadaan ekonomi warga) untuk pengurusan KTP, Kartu Keluarga, Surat Kematian, Akte Jual Beli tanah dan segala hal terkait administrasi kependudukan. Meskipun nantinya di Kantor Desa masih ada juga pungutan dengan dalih sebagai biaya administrasi.

Apapun yang saya sampaikan dalam tulisan kali ini adalah merupakan contoh-contoh betapa Tikus itu sudah menyebar dimana-mana. Lingkungan manapun yang “basah”, berlimpah uang, memiliki potensi pemasukan uang yang besar dan memiliki potensi bisa diperalat, maka Tikus itu betah berlama-lama di tempat tersebut.

Coba anda amati sekitar anda? Mungkinkah apa yang saya tulis, juga menjadi pengalaman anda?….

Penulis : Pakdhe U ® | Windows Live Writer | Blogger | You Tube | Copyright © 2013.

Baca Juga :

Kamis, 28 November 2013

Yuuk Kita Korupsi, Bro…

Something else By : Pakdhe U ®

Jember.id.. Membaca judul di atas, siapapun pasti akan bertanya dengan sedikit hati terhenyak. Masa mungkin saya mengajak kita semua melakukan korupsi? Satu hal yang sebenarnya menjadi perbuatan terlarang (berdasarkan undang-undang) di Indonesia, tapi sebenarnya masih belum tuntas terberantas.

Oleh karena itu, saya sengaja mengajak kita semua untuk melakukan korupsi, dengan terang-terangan dan kalau perlu dibuat payung hukum, sehingga tindakan (korupsi) ini menjadi sah. Ini semua saya lakukan sebagai kesengajaan karena saya sudah teramat sangat geregetan sekali dengan kebiasaan korupsi yang dilakukan oleh pejabat kita,baik di tingkat atas maupun di tingkat desa.

Beberapa jam yang lalu saya bertemu dengan seorang kenalan yang kebetulan mengabdi menjadi BPD (kalau tidak salah kutip;Badan Perwakilan Desa), dan baru pulang dari Kantor Desa. Dia, bersama anggota BPD yang lain dipanggil oleh Pak Kades terkait rumors di masyarakat tentang akan adanya demontrasi menyangkut PRONA, atau Program Nasional Sertifikat Tanah Gratis.

Masyarakat berdemo karena dalam pengurusan Sertifikat tanah tersebut, ternyata masih dipungut biaya sampai Rp. 700 ribu. Pak Kades memang mengakui adanya pungutan itu, tapi beliau juga menerangkan kemana larinya uang sebanyak itu?

Ternyata, uang sebanyak itu digunakan untuk “Menjamu” team pertanahan yang datang dari Kabupaten untuk melakukan verifikasi lahan. Team tersebut berjumlah 8 sampai paling banyak 10 orang, datang setiap minggu. Setiap kali selesai melakukan pengukuran, mereka selalu mengajak Pak Kades untuk makan-makan Ayam Panggang dengan nilai transaksi Rp. 200 Ribu.

Bahkan ada diantara mereka yang juga dengan bahasa tubuh mengisyaratkan kalau mobil yang mereka tumpangi membutuhkan bensin. Terpaksa mereka diberi uang bensin Rp. 100 ribu. Di lain pihak, menurut Pak Kades, Perangkat Desa yang mengantarkan para petugas tersebut juga meminta jatah uang bensin dan uang makan.

Kalau tidak melakukan sedikit pungutan, dari mana Desa akan mendapatkan uang yang dibutuhkan untuk memenuhi keinginan para petugas dari Kabupaten? Sebab, mereka mengancam akan memperlama proses jika kebutuhan mereka (makan enak dan bensin) tidak terpenuhi. Waah, kalau begitu ya repot!

Saya mencoba menghubungi warung tempat Pak Kades biasa “dipaksa” menjamu orang-orang Kabupaten tersebut. Dan, berdasarkan pengakuan pemilik warung, memang benar bahwa Pak Kades bersama tamu-tamunya dari Kabupaten selalu makan di tempat tersebut setiap minggunya.

Yang jadi pertanyaan saya? Apakah team tersebut tidak mendapatkan uang operasional dari Pemerintah? Bukannya setiap ada program gratis, apapun yang terkait dengan pengeluaran sepertinya dan memang seharusnya ditanggung oleh negara. Lalu, dalam rangkaian peristiwa ini, yang sebetulnya menggelapkan uang negara itu siapa? Siapa yang korupsi?

Saya jadi teringat ucapan salah seorang rekan saya yang lain, seorang mantan Kepala Desa yang akhirnya berhenti karena tidak tahan dengan kelakuan Camatnya. Bagaimana tidak, setiap ada bantuan program dari Pusat, bapak camatnya selalu meminta bagian. Ngomongnya sih seikhlasnya, tapi ketika cuma diberi Rp. 100 Ribu malah mencak-mencak.

Rekan saya ini langsung menyodorkan kuitansi ke camat, sambil mengatakan untuk mengambil berapapun yang dimau asalkan ditulis di kuitansi. Eh, Pak Camatnya marah-marah dan tak berapa lama, rekan saya ini berhenti menjadi Kades. Pusing, katanya. Mana dana dari pusat cuma turun (terealisasi) 60%, eh masih dimintai bagian sama Pak Camatnya.

Tapi kemudian rekan saya yang satu ini mengatakan pada saya; “Ya ibaratnya pipa air, meskipun bertugas mengalirkan air, masa juga tidak basah?”, yang kalau diartikan mungkin begini; Sebagai rantai birokrasi yang menyalurkan bantuan dari pusat, masa tidak ada sebagian kecil bantuan tersebut yang tersangkut ke badan? Kalau pendapatnya seperti ini, ya repot!!

Dilewati bantuan seharusnya bertindak jujur dan amanah, kok malah mencoba mencari celah untuk bisanya kecipratan. Lalu, bagaimana bisa, dan kapan Indonesia akan terbebas dari kebiasaan korupsi? Maka dari itu, Yuuk Kita Korupsi, Bro….

Bagaimana dengan di Desa anda? Bagaimana dengan di Kabupaten anda? Bagaimana dengan di Provinsi anda? Jika anda menemukan kesamaan cerita dengan apa yang saya sampaikan, itu menandakan bahwa korupsi memang tidak akan pernah bisa diberantas!!! Jika demikian, lebih baik kita tetap berpegang teguh dengan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab kita.

Bertani…ya bertani saja. Sopir…ya sopir saja. Koruptor….ya silahkan saja korupsi, karena sesungguhnya semua apa yang kita kerjakan akan selalu dimintai pertanggung jawabannya kelak. Kapan? Bahkan sang waktu pun tidak akan bisa memberikan kepastian. Namun yang pasti, masa itu akan segera datang!!

Pakdhe U ® | Windows Live Writer | Blogger | You Tube | Copyright @2013.

Terkait :

Rabu, 27 November 2013

Penerapan Sistem Online Yang Merepotkan

Oleh : Pakdhe U ®

Jember.id.. Adakalanya menerapkan sustu sistem berbasis tekhnologi tinggi memang memudahkan. Seperti misalnya; sistem kartu tol elektronik, sistem pembayaran pajak kendaraan online dan beberapa contoh lainnya. Tapi, jika rangkaian dalam sistem tersebut tidak memenuhi unsur kelayakan, maka bisa jadi justru akan merepotkan. Entah jaringan infrastrukturnya yang masih tidak layak, sumber daya manusianya yang masih gagap atau justru sistemnya itu sendiri yang masih belum sempurna.

Saya cukup dekat dengan orang-orang yang berprofesi sebagai pendidik. Mereka sering mengeluhkan tentang penerapan pendataan sekolah maupun pendataan tenaga pendidik secara online. Yang selalu mereka keluhkan kepada saya adalah, sulitnya mereka memahami tekhnologi internet yang digunakan. Jangankan internet, memegang laptop saja baru kali ini mereka lakukan. Memang, mereka kebanyakan sudah cukup berumur dan merupakan produk sekolah jaman dulu yang masih belum mengenal komputer maupun internet.

Akhirnya, mereka dengan sedikit rasa sungkan (karena merasa selalu merepotkan saya), meminta tolong saya untuk melakukan update database mereka secara online. Dengan senang hati saya melakukan permintaan mereka serta sedikit banyak juga mengajari mereka tentang internet, komputer dan sebagainya. Meski begitu, tetap saja mereka merasa kesulitan memahami semua penjelasan saya. Saya hanya bisa memakluminya.

Yang saya ceritakan di atas adalah salah satu bentuk tidak adanya daya dukung penerapan tekhnologi tinggi dari sisi sumber daya manusianya. Lalu apa bedanya dengan sistem pembayaran pajak online? Kalau pembayaran pajak online, meskipun nasabah pembayar pajaknya gagap tekhnologi, mereka akan dilayani oleh petugas yang ada di mobil keliling yang tentunya sudah terlatih. Sedangkan bagi mereka yang membayar melalui ATM, sudah pasti mereka lebih melek tekhnologi jika dibanding dengan orang kebanyakan, karena mereka sudah memahami sistem perbankan dan sejenisnya.

Sekarang kembali ke sistem pendataan online. Suatu ketika saya berkunjung ke suatu daerah yang tergolong pelosok, di tepi hutan daerah perkebunan. Di tempat itu saya bertemu dengan sahabat karib yang kebetulan diangkat menjadi PNS di daerah tersebut. Secara sumber daya manusia, sahabat saya ini tergolong cerdas dan melek tekhnologi, karena memang berasal dari kota Malang.

Sama saja dengan rekan-rekan saya di rumah yang mengeluhkan sistem pendataan online, sahabat saya ini juga merasakan kerepotan saat harus melakukan update data secara online. Bahkan untuk melakukan hal tersebut, dia harus ke kota Kecamatan terdekat yang jaraknya sekitar 3 KM, melalui hutan dan jalan yang berbatu, dengan tujuan mendapatkan sinyal yang lebih stabil.

Di tempat itu sebenarnya ada jaringan telekomunikasi, yang dilayani dari BTS yang ada di kota Kecamatan terdekat. Tapi karena lokasinya yang tertutup hutan, sinyal yang didapatkan sangat tidak stabil. Padahal untuk melakukan update data online, kualitas jaringan harus stabil dan tanpa gangguan.

Mungkin, maksud Pemerintah menerapkan sistem online untuk pendataan individu pendidik dan tenaga kependidikan adalah untuk mempermudah administrasi dan menghindarkan kesalahan data jika dilakukan dengan cara manual. Tapi, seharusnya Pemerintah mempertimbangkan sisi sumber daya manusianya; walaupun terdidik, terpelajar (karena memang guru), tapi kebanyakan mereka sudah cukup berumur, mendekati pensiun dan merupakan produk sekolah jaman kegelapan (hehehe).

Pemerintah juga seharusnya mempertimbangkan dari sisi wilayah Indonesia yang kebanyakan bergunung serta sangat terbatas jangkauan infrastruktur komunikasinya. Kalau di kota mungkin memang mudah, praktis dan tidak merepotkan,tapi bagaimana dengan di desa yang sangat terpelosok? Yang ada justru akan sangat merepotkan. Bisa-bisa, hanya karena mengurusi pendataan online dengan segala hambatannya, para guru, pendidik dan tenaga kependidikan yang di tempat atau memiliki keterbatasan infrastruktur komunikasi, menjadi meninggalkan kewajiban utama mereka mencerdaskan bangsa.

“Jare wong Jawa; sing sabenere goblok iki sajane sapa? Mentrine, apa para pegawene? Wis jelas ora gathuk, tetep wae dipeksa kon nggathuk-ngathukne wae!”

(Bhs. Jawa: “Kata orang Jawa; yang benar-benar bodoh itu sebetulnya siapa? Menterinya, apa para pegawainya (pendidik dan tenaga kependidikan)? Sudah jelas tidak cocok (menerapkan sistem online), tetap saja dipaksakan untuk cocok!”

Penulis : Pakdhe U ®|Windows Live Writer | Blogger | You Tube | Copyright @2013.

Open-mouthed smileWinking smile Keep smille, even you’re in a bad mood!

Selasa, 26 November 2013

Benarkah Indonesia Sudah Siap Memasuki 4G (LTE)?

Oleh : Pakdhe U ®2012-11-04 18.46.15

Jember.id.. 4G, generasi ke empat tekhnologi telekomunikasi atau disebut sebagai LTE (Long Term Evolution), kalau tidak salah kutip, merupakan sebuah tekhnologi terkini tentang telekomunikasi. 4G memungkinkan tranfer data berkecepatan sangat tinggi, bahkan berkali-kali lipat kecepatan 3G. Berdasarkan informasi yang saya gali dari berbagai sumber, Indonesia disebut-sebut sudah siap memasuki era 4G ini.

Bahkan beberapa operator telekomunikasi besar sudah berhasil melakukan ujicoba di Jakarta, beberapa waktu lalu. Pemerintah juga sudah memberikan lisensi operasional 4G kepada salah satu perusahaan telekomunikasi, yang khusus menyediakan layanan internet.

Pertanyaan saya kemudian adalah; Benarkah Indonesia sudah siap memasuki era 4G? Wajarlah jika saya lontarkan pertanyaan ini. Sebab, berdasarkan pengalaman saya sendiri, yang selalu bergelut dengan dunia maya – walau untuk sekedar blogging, browsing, chatting dan facebooking – sepertinya terlalu naif jika menyatakan kita sudah siap 4G.

Di tempat favorit saya saja (rumah mertua), yang secara garis lurus dari BTS milik provider kepercayaan hanya berjarak 1,75 KM, dan hanya 2 KM dari BTS lainnya yang juga milik provider yang sama, untuk mendapatkan sinyal 3G saja susahnya minta ampun. Jika cuaca kebetulan bersahabat, sinyal yang saya peroleh hanya -109 dBm paling bagus. Kalau cuaca sedang tidak bersahabat, jangankan 3G, sinyal EDGE saja sangat susah, paling bagus cuma -107 dBm saja.

Kalau kebetulan saya harus memposting tulisan Blog, atau sangat membutuhkan koneksi internet yang stabil, saya harus mengalah dan mengungsi ke tempat lain yaitu rumah orang tua sendiri yang jarak dari BTS cuma 700 m. Memang boleh dikatakan koneksinya lancar dan tergolong stabil. Tapi,mungkin karena kekuatan sinyal 3G yang diperoleh cuma -75 dBm, kemampuan untuk melakukan upload video ke You Tube cukup menguras waktu, alias laaa…..ma.

Tapi, yang perlu untuk di garis bawahi dan menjadi catatan adalah, apa yang terjadi saat ini sudah jauh lebih baik jika dibandingkan dua tahun lalu, saat awal saya mulai menulis Blog. Kalau saya ingat waktu itu, rasanya sangat ngeri. Bayangkan, untuk menulis atau memposting sebuah judul saja lamanya minta ampun. Jadi yang sekarang termasuk lebih cepat, meskipun tidak bisa dikatakan terlalu cepat.

Beberapa hari terakhir, saya sering melihat adanya beberapa orang yang bekerja melakukan penggalian di sepanjang jalan. Hal ini sama persis dengan ketika jangkauan 3G hampir melayani daerah tempat tinggal saya. Saya coba menanyai mereka, dan benarlah, galian itu untuk proyek kabel optik milik salah satu operator seluler yang nantinya digunakan untuk keperluan internet kecepatan tinggi.

Apakah yang dimaksud dengan internet kecepatan tinggi tersebut adalah 4G (LTE)? Ataukah hanya sekedar upaya peningkatan kapasitas jaringan 3G yang dimiliki oleh operator seluler tersebut? Tidak ada seorangpun yang tahu, kecuali para pejabat yang berwenang dan terlibat di dalamnya. Ya, semoga saja itu memang untuk persiapan menjelang dioperasikannya 4G!

Kalaumemang 4G benar-benar mendarat di Indonesia dan khususnya ada di daerah saya, alangkah senang hati ini karena bisa lebih produktif lagi blogging, lebih giat lagi browsing untuk mencari bahan tulisan, lebih sering lagi facebooking dan gak bakalan lelah berbagai video karya sendiri di You Tube.

Sumber : Diolah dari berbagai sumber—2013.

Penulis : Pakdhe U ® | Windows Live Writer | Blogger | You Tube | Copyright @2013.

Senin, 25 November 2013

Menjadi Guru, Pilihan Yang Mengerikan

Oleh : Pakdhe U®

Foto-0102

Jember.id.. Benarkah menjadi seorang guru itu enak? Kerjanya ringan? Gak begitu capek-capek amat? Benarkah menjadi guru itu terjamin kesejahteraannya? Jawabannya untuk saat ini adalah tidak! Justru sebaliknya, menjadi guru di jaman sekarang itu berat. Saa…ngat berat. Bahkan bisa dikatakan mengerikan!

Apa yang kemudian menjadi dasar bagi saya untukmengatakan pendapat seperti itu? Banyak hal yang bisa ditelisik dan diperhatikan sehingga kemudian menghasilkan kesimpulan bahwa menjadi guru itu adalah pilihan yang mengerikan.

Minggu, 24 November 2013

Balada Mobil Murah

By : Pakdhe U®

Jember.id.. Mobil murah, mobil murah! Andaikan unit kendaraan roda empat bisa ditenteng dengan tangan, mungkin saat ini sudah ada pedagang asongan yang jualan mobil murah (hehehe). Sayang, meskipun dikatakan murah, mobil tetaplah mobil. Besar, berat dan tidak mungkin dimasukkan dalam saku.

2013-10-29 14.50.07Berbicara tentang mobil murah, atau akhir-akhir ini disebut LCGC (Low Cost Green Car / Mobil berbiaya rendah yang ramah lingkungan bukan mobil murah berwarna hijau), sebenarnya hampir mirip dengan membicarakan tentang kentut. Kok begitu? Iya, kentut itu jika dikeluarkan bisa mengundang masalah; tidak dikeluarkan juga mengundang masalah. Coba anda kentut di tempat umum? Masalah yang ditimbulkan dari bau kentut anda setidaknya adalah umpatan, makian atau sekedar heboh mencari siapa biang kentut. Kalau anda ketahuan, paling cuman ditegur namun setelah itu, tenggelam tidak ada reaksi kembali.

Namun, jika perut anda merasa sakit dan rasanya pengen kentut, tapi tidak bisa anda keluarkan karena satu dan lain hal, sudah bisa dipastikan anda akan menanggung sakit yang berkepanjangan. Bahkan bisa jadi harus dioperasi. Muncul masalah juga kan? Apa hubungannya dengan LCGC yang santer dibicarakan akhir-akhir ini?

  1. Menurut Pemerintah yang mengeluarkan kebijakan dalam skema LCGC, tujuan dari proyek ini adalah memberikan kemudahan bagi rakyat/masyarakat dalam mobilitasnya untuk memiliki kendaraan yang terjangkau.
  2. LCGC juga bertujuan untuk menghadirkan sarana transportasi (individu) yang nyaman, praktis dan ramah lingkungan.
  3. LCGC sepertinya diharapkan untuk menjadi “harapan baru” Pemerintah dalam hal pemasukan pajak, mengingat volume kendaraan yang terlibat dalam proyek LCGC diperkirakan akan menjadi unit terbesar dalam porsi kendaraan yang beredar.

Masalah Jika LCGC Tidak dijalankan

  1. Pemerintah kemungkinan kehilangan potensi pemasukan dari sektor pajak yang cukup besar, dan ini dapat mengganggu stabilitas ekonomi negara.
  2. Pemerintah memiliki kemungkinan mendapatkan “tekanan” yang cukup besar dari para pengusaha otomotif yang menghendaki memperoleh keuntungan besar dari proyek LCGC, karena proyek mobil “wajar” mereka volumenya terus menyusut, sementara modal belum sepenuhnya kembali.
  3. Pemerintah sepertinya takut jika para pengusaha otomotif tersebut melakukan rasionalisasi (baca: PHK) karena pendapatannya dari jualan mobil “wajar” terus menurun, dan ini imbasnya adalah gejolak ekonomi yang luas biasa.

Masalah Jika LCGC Dijalankan

  1. Volume kendaraan yang beredar di jalan akan jauh melebihi kapasitas jalan yang layak, pada akhirnya menyumbang kemacetan di mana-mana. Meskipun label mobil ini adalah hemat energi (baca: irit) dan ramah lingkungan, tapi jika senantiasa terjebak dalam kemacetan pada akhirnya termasuk pemborosan energi juga. Berdasarkan data Gaikindo, salah satu merek yang terlibat proyek LCGC saja sudah meraih penjualan sebanyak 18.000 unit sejak September 2013. Bagaimana dengan merek yang lain?
  2. Karena volume kendaraan yang beredar tidak mampu dilayani oleh kapasitas jalan, maka bukan tidak mungkin akan mempercepat kerusakan jalan itu sendiri. Tujuan menghadirkan kendaraan yang nyaman akan menjadi sirna jika sarana jalan semuanya rusak tanpa perbaikan, ujung-ujungnya juga mengorbankan kenyamanan.
  3. Dengan memiliki mobil, otomatis beban pengeluaran rakyat bertambah dan akhirnya tuntutan hidup-pun meningkat. Pada akhirnya akan berdampak pula pada tuntutan kenaikan atau peningkatan kesejahteraan.

Terus, enaknya bagaimana? Ya seperti kentut itu! Daripada menimbulkan masalah dalam perut (pemerintah dan pengusaha otomotif), ya harus dengan terpaksa dikeluarkan saja LCGC meskipun pada akhirnya nanti ada masalah juga yang bukan tidak mungkin akan berimbas pada Pemerintah.

Nek jare wong jowo; yo sak karepmu wae wis, alias ya apa maumu saja lah, alias up to you, gitu! Saya tidak perlu mikir terlalu berat, karena toh saya cuma sopir saja.

Sumber : Autocar, Otomotif

Penulis : Pakdhe U® | Windows Live Writer | Blogger | You Tube | Copyright @2013.

Kita Ini Siapa?

Renungan : Pakdhe U®

Jember.id.. Adakalanya kita berhadapan dengan orang lain, merasakan sedikit terintimidasi oleh status orang tersebut. Entah status sosialnya, status pendidikannya, status jabatannya atau hanya sekedar status kewibawaannya. Meskipun sebenarnya kita punya nyali yang cukup besar, namun ketika berhadapan dengan orang yang kebetulan berstatus Tentara, Polisi atau mungkin Preman Kampung, (bukan maksud saya menyandingkan Polisi dan Tentara dengan Preman) nyali kita berubah menjadi ciut.

Kita ini siapaPun sama halnya jika kita berhadapan dengan Kepala Sekolah, Pejabat Penting atau bahkan cuma Pak Kampung, kebanyakan dari kita akan merasa berada dalam lingkungan yang serba “menekan” dan menakutkan. Padahal kita tahu, orang-orang yang saya sebutkan tadi juga manusia biasa seperti kita. Mereka makan apa yang kita makan juga (meskipun lebih enak), mereka mandi juga sebagaimana kita mandi.

Pertanyaannya adalah, kita ini siapa? Mengapa harus ciut nyali ketika berhadapan dengan mereka? Coba tanyakan kepada orang-orang yang menurut anda sangat bijaksana; Kita ini siapa?

Menurut saya, kita, dan juga orang-orang yang kebetulan beruntung menyandang status yang lebih baik, tak ubahnya hanyalah sebagian kecil dari serpihan jagat raya. Kita tak ada bedanya dengan kumpulan batu yang berserak, tak ada bedanya dengan lembaran-lembaran daun kering yang tercecer, pun tak ada bedanya dengan binatang-binatang liar yang berkoloni.

Satu-satunya pembeda kita dengan mereka hanyalah akal dan pikiran. Kita mendapatkan porsi akal dan pikiran yang jauh, bahkan sangat jauh lebih baik dari apapun yang saya sebutkan tadi. Bahkan dengan kelebihan akal dan pikiran tadi, kita bisa menjadi apapun yang kita mau. Mau pikiran kita sekeras batu? Bisa! Mau akal kita segersang daun kering? Juga bisa! Mau akal dan pikiran kita menjadi seliar binatang? Sangat mudah terjadi!

Maka, ketika semua kemampuan itu bisa kita lakukan, kita menjadi ragu dengan diri kita sendiri. Lalu, tidak salah jika kemudian muncul pertanyaan; Kita ini siapa?

Kalau jawabannya Kita adalah manusia, tapi kenapa masih bertingkah seperti binatang? Tak malu melakukan hubungan sex bukan dengan pasangan resminya, hidup bersama tanpa ikatan dengan alasan ribet kalau harus menikah, dan makan segala hal yang sebetulnya tidak pantas dimakan. Saling bunuh hanya karena perebutan tempat, perebutan kekuasaan, perebutan pasangan dan perebutan pengakuan. Apakah kita manusia? Saya rasa perlu berpikir lebih untuk memutuskan jawabannya, jika kita masih bertingkah seperti binatang.

Kalau jawabannya Kita adalah insan, tapi kenapa masih bergumul dengan hal hal yang tidak bermanfaat? Berjudi, mabuk-mabukan, hura-hura, narkoba, berlomba-lomba membuat senjata untuk perang, merasa senang dengan keberhasilan menciptakan mesin perang, merasa superior ketika bisa menindas suatu kaum yang lemah, dan hal-hal lain yang tidak bermanfaat. Sebagai insan, seharusnya semua apa yang dilakukan dapat memberikan manfaat kepada kita dan bahkan kepada orang lain. Apakah kita insan?

Kalau jawabanya Kita adalah Khalifah (pemimpin ummat), tapi kenapa masih bersekutu dengan setan yang mengajak bertindak korupsi, berlaku curang, menipu sesama dan tak segan menyakiti sesama demi kepentingan diri sendiri. Tak memiliki rasa malu dan bahkan sangat pongah dengan kedudukannya, padahal semua itu didapatkan dengan jalan yang sesat (menyuap, menyogok dan membeli jabatan). Sebagai Khulafaurrasyidin (maaf jika salah tulis), atau Pemimpin yang benar-benar sebagai pemimpin, kita mestinya lebih mendahulukan kepentingan orang lain (yang kita pimpin) dan bukannya lebih mengedepankan kepentingan diri sendiri.

Sekarang mari kita merenung lebih dalam. Merenung dengan segenap kekurangan kita dan seluruh waktu kita curahkan, untuk sekedar mencari jawabannya. Kita ini siapa? Apakah kita sudah menjadi apa yang seharusnya? Apakah kita memang bukan diri kita yang diharapkan? Entahlah!!!

Penulis : Pakdhe U® | Windows Live Writer | Blogger | You Tube | Copyright @ 2013…

 

Sabtu, 23 November 2013

Sandal Jepit DILARANG MASUK!

Oleh : Pakdhe U®

Jember.id.. Pernah suatu ketika, saat saya berkunjung ke Jakarta, ke rumah saudara yang berdomisili di sana, saya melewati sebuah Mall yang sangat besar. Mungkin besarnya Mall tersebut lima kali dari Mall terbesar di kota saya (Jember). Mall tersebut memang kelihatan sangat megah dan membuat saya penasaran untuk memasukinya.

Tapi, begitu saya berniat memasukinya, Kakak ipar saya langsung mencegahnya, dengan alasan karena kami semua memakai sandal jepit. Suatu alasan yang terdengar sepele namun sebenarnya cukup menggelitik juga. Bukannya sebuah Mall itu adalah tempat publik? Tempat umum yang tentunya siapapun dengan tanpa batasan, boleh memasukinya. Apalagi jika memang tujuannya untuk belanja.

Tapi, demi mengurangi rasa penasaran, saya nekat mencoba masuk ke Mall tersebut, sementara keluarga yang lain menunggu di kejauhan. Apa lacur yang terjadi? Dua orang berpakaian security, dengan tampang garang dan serius langsung keluar dari pos penjagaan. Mereka mencegat saya dan langsung mengatakan; “Bang, pakai sandal jepit dilarang masuk Mall!”

Saya menjawab dengan santai;”Emang gak boleh ya?,” lalu apa jawab security tersebut? “Kamu gak lihat tanda ini?” sambil menunjuk gambar sepasang sandal jepit yang dicoret. “Yaudah.” Sahut saya sambil ngeloyor pergi.

Mungkin jika yang melarang masuk sandal jepit adalah sebuah kantor pemerintahan, sekolah atau gedung perkantoran, saya masih bisa menerimanya dengan wajar. Tapi ini sebuah Mall! Bayangkan, sebuah Mall, tempat umum yang merupakan tempat orang berbelanja. Tapi ternyata tidak cukup sampai disitu, yang dilarang masuk Mall tersebut selain sandal jepit, juga pengunjung yang bawa motor roda dua.

Tapi tak seberapa lama kemudian, saya melihat sepasang wisatawan manca (bule) yang turun dari taxi yang ternyata memakai sandal jepit (bermerek) yang tidak ditegur oleh security. Saya merasa ada diskriminasi, maka saya datangi lagi security yang tadi dan komplain tentang dua turis tadi. Apa jawaban mereka? “Mereka kan orang asing yang berlibur. Pasti mereka bawa uang banyak untuk belanja, emang kamu mau apa?”

Oh my God! Ternyata penjajahan itu masih belum hilang dari Indonesia. Saya, orang Indonesia, di tanah Indonesia, dengan gaya Indonesia (sandal jepit) dilarang masuk sebuah Mall yang sepertinya milik waralaba asing, yang mungkin dibangun dengan dana pinjaman Pemerintah Indonesia, namun hanya sebagian kecil pajaknya yang dibayar. Apalagi kalau bukan penjajahan namanya? Saya jadi ingat pelajaran sejarah, saat jaman penjajahan dulu pernah ada tulisan “Pribumi dilarang Masuk!”, sepertinya sekarang terjadi kembali.

Rupanya sepatu dan roda empat sudah menjadi simbol status yang menunjukkan suatu kalangan elit, sosialita dan mewah! Padahal untuk mencapai ke-elitan dan tingkat sosialita yang mewah tersebut, umumnya mereka menggadaikan harga diri mereka sebagai manusia. Mereka bangga dengan mobil-mobil mewah mereka, sepatu-sepatu mahal mereka, kebebasan mereka memasuki Mall-Mall besar yang memasang tanda larangan masuk bagi sandal jepit, tanpa perduli darimana mereka mendapatkan semua itu?

Pejabat yang mengkorupsi uang rakyat, tidak terhitung jumlahnya, bahkan hingga di tingkat desa/kelurahan. Pengusaha yang memanipulasi pajak dan merekayasa keuntungan untuk kekayaan pribadi, juga tidak lebih sedikit dari pejabat yang korupsi. Kaum remaja hedonis yang dengan riang memamerkan mainan mewahnya (mobil, gadget dan sebagainya) tanpa malu meskipun mereka mendapatkannya dengan menjual diri sebagai penghibur dan simpanan pejabat, juga tidak bisa dihitung dengan jari. Kita tidak bisa tutup mata atas semua ini, karena memang kenyataannya ada di sekitar kita.

Kembali ke masalah Mall yang melarang sandal jepit masuk tadi. Jika mereka memandang orang yang berpakaian biasa, bersandal jepit dan nampak sebagai pribumi dungu, adalah orang yang tidak berduit, itu berarti mata mereka sudah dibutakan oleh penampilan luar yang gemerlap. Padahal, kebanyakan mereka yang belanja di Mall tersebut tidak menggunakan uang cash, melainkan memakai kartu kredit.

Artinya apa? Mereka menampakkan dirinya sebagai orang berada, mewah dan elit, namun sebenarnya mereka hanya becus berhutang. Mereka sepertinya terjebak oleh tabiat konsumerisme tanpa memandang kemampuan keuangan mereka sehingga selalu menjagakan keberadaan kartu kredit, yang notabene sama dengan hutang.

Padahal kenyataannya, saat itu saya sedang membawa misi untuk belanja keperluan usaha kolega saya yang memang sengaja titip karena saya kebetulan berkunjung ke Jakarta. Dengan asumsi harga yang lebih murah dan belanja dalam jumlah besar. Total belanja saya sebesar Rp. 75 juta yang sebagian diantaranya transaksi cash dan sisanya menggunakan kartu debit. Ingat, kartu kredit tidak sama dengan kartu debit. Kalau kartu kredit belum tentu dananya tersedia di rekening tapi jika kartu debit sudah dipastikan saldo rekeningnya melebihi kemampuan debit kartu tersebut.

Jadi, kesimpulannya apa? Saya hanya bisa melihat bahwa saat ini Indonesia terjebak dalam pandangan bahwa Korupsi, kecurangan dalam usaha, menjual diri dan tindakan-tindakan (yang sebenarnya bejat) sejenisnya adalah sah-sah saja (selama tidak ketahuan) untuk memperkaya diri sendiri dan meningkatkan status sosial meskipun harus mengorbankan status harga diri (bangsa). Biarkan mereka bangga dengan kebusukan mereka dan saya akan tetap menjadi saya yang sederhana sedemikian adanya. Tak perduli meskipun mendapat cap terlalu idealis, cupu, kepo dan pribumi.

Penulis : Pakdhe U® | windows Live Writer | Blogger | You Tube | Copyright @ 2013

Kamis, 21 November 2013

Proses Panjang Membuat Video CD Berkualitas Poin 2

Oleh : Pakdhe U®

Jember.id.. Menyambung tulisan saya sebelumnya, Proses Panjang Membuat Video CD Berkualitas Poin 1, kali ini saya akan menyampaikan proses selanjutnya yang tak kalah penting, yaitu proses Editing video. Dalam proses ini, kreatifitas, imajinasi dan daya dukung alat yang digunakan saling terkait satu dengan yang lain untuk menghasilkan output (VCD) berkualitas yang dikehendaki.

Minggu, 17 November 2013

Proses Panjang Membuat Video CD Berkualitas Poin 1

Oleh : Pakdhe U®

Jember.id..Bagaimana cara membuat video CD maupun DVD dengan hasil setara VCD maupun DVD original, tentu sudah menjadi pertanyaan setiap orang (yang tertarik) sejak lama. Apalagi bagi mereka yang menginginkan setiap kegiatannya direkam dan diabadikan dalam bentuk VCD/DVD namun enggan berurusan dengan penyedia jasa Video editing professional, dengan alasan selain terlalu mahal juga sulit untuk memberikan sentuhan “kreatifitas” dalam proses editingnya.

Tak jauh beda dengan saya, bertolak dari banyaknya kegiatan yang harus diabadikan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk setiap pembuatan VCD pada penyedia jasa pro, belum lagi jika nanti hasilnya sangat jauh dari konsep yang sudah dipikirkan semula. Akhirnya, saya menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari berbagai pihak untuk dapatnya saya membuat VCD sendiri.

Pada awalnya, hasil yang didapat sangat jauh dari kata berkualitas. Namun, seiring berjalannya waktu, dengan latihan dan latihan yang kontinyu, sekarang VCD yang saya hasilkan bisa dikatakan cukup memuaskan untuk ukuran produk rumahan, tentu dengan alat yang terbatas. Nah, bagaimana proses saya bisa menghasilkan VCD yang demikian, akan coba saya bagi dalam tulisan saya kali ini.

Senin, 11 November 2013

1001 Kisah Berhadapan Dengan Polisi

Artikel Oleh : Pakdhe U®

Jember.id.. Pernahkan anda sekalian berurusan dengan Polisi? Bagaimanakah rasanya berurusan dengan Polisi? Ribet? Menghabiskan banyak waktu, biaya dan tenaga? Mungkin benar, tapi mungkin juga salah. Berikut ini penulis sampaikan beberapa rangkaian cerita faktual tentang “berurusan dengan Polisi,” yang semuanya saya dapatkan dari cerita berdasarkan pengalaman pribadi beberapa rekan dan kolega yang dirangkum sedemikian rupa. Mungkin beberapa diantara cerita tersebut pernah anda alami juga.

PENGALAMAN (hampir) DITILANG DI LUAR KOTA

Melanggar rambu-rambu lalu-lintas? Bisa ditebak, pada akhirnya pasti kena tilang! Tapi, kalau kita beruntung karena sedikit ngeyel, mungkin kita hanya kena teguran saja. Paling apes, ya jadi tontonan warga karena bersitegang dengan Polisi.

Ini adalah cerita kakak kandung saya, yang tinggal di Karawang, Jawa Barat. Datang berkunjung ke rumah orang tua dan rumah saya pada saat lebaran lalu. Mereka kemudian mengajak kami mengunjungi kerabat yang ada di Kota Wlingi, Blitar.

Brian Cakep 1

Nah, di kota Wlingi itulah kami “terpaksa” harus berurusan dengan Polisi. Kenapa, karena menurut mereka kami telah melanggar rambu-rambu larangan masuk yang ada di pangkal jalan. Karena kami merasa tidak pernah melihat rambu tersebut, Kakak berdua ngeyel pada Polisi tersebut.

Alasan Kakak ngeyel karena di jalan yang sama, ternyata banyak sekali kendaraan roda 2 yang melintas. Jawaban Polisi tersebut adalah; kendaraan dilarang masuk “kecuali” roda dua. Karena Kami memang tidak pernah merasa melihat rambu yang dimaksud, kami tetap ngeyel tidak mau di tilang, dengan pertimbangan kami berasal dari luar kota yang sudah tentu tidak paham perubahan lalu-lintas yang ada. Karena seingat kami, beberapa tahun lalu, saat terakhir ke Wlingi, jalan itu masih belum satu arah.

SAM_1816SAM_1835

Salah satu diantara Polisi itu malah berang sambil mengeluarkan kata-kata tidak pantas dari mulutnya; “Kami ini bukan an**ng penjaga jalan yang harus menjaga 24 jam!” Wuuizz, keluar dah kebun binatangnya, dan disambut dengan tenang oleh kakak; “Kami tidak pernah menganggap anda seperti yang baru saja anda katakan. Dan kata-kata itu bukan saya yang mengucapkan, melainkan anda sendiri.”

Akhirnya, seorang Polisi yang lainnya menengahi dan kemudian mengijinkan kami melanjutkan perjalanan dengan pertimbangan bahwa kami memang dari luar kota. Kami dengan senang hati pergi dan sengaja memutar menuju pangkal jalan untuk melihat rambu yang dimaksud. Ternyata rambu tersebut memang ada, tapi penempatannya tertutup pohon dan terlalu jauh masuk setelah pertigaan. Boleh dikatakan rambu tersebut menyesatkan dan menjebak.

GARA-GARA GATAL, KENA TILANG

Lain lagi cerita tetangga saya yang satu ini, dia kena tilang di Banyuwangi gara-gara dadanya gatal. Bagaimana? Kok bisa? Tetangga saya ini, sebut saja Tar, berprofesi sebagai sopir ELF untuk keperluan rombongan. Kebetulan saat kejadian sedang membawa keluarga besarnya menghadiri resepsi pernikahan di Banyuwangi.

Mobil ELF yang dibawa cukup lengkap, ada AC, Video dan tentu sabuk pengaman baris depan. Nah, di sektor sabuk pengaman inilah yang kemudian membuat Polisi yang sedang melakukan razia akhirnya menjatuhkan tilang. Apa karena Tar tidak memakai sabuk pengaman? Saya saksinya, sejak keluar dari rumah, yang namanya sabuk pengaman itu sudah terpasang dengan sempurna.

Nah, kejadiannya di suatu wilayah di Banyuwangi, dengan kondisi jalan agak menikung dan sangat sulit untuk melihat apakah ada razia Polisi atau tidak, dari arah Jember, Tar merasa dadanya gatal. Yang namanya gatal tentu saja harus menggaruk supaya berkurang gatalnya. Meskipun begitu, tar tidak sejenakpun melepas sabuk pengaman.

Tiba-tiba ELF dihentikan oleh Polisi dengan alasan pengemudi tidak mengenakan sabuk pengaman dan mengenakan saat kepergok razia. Tentu saja Tar mengelak karena memang tidak pernah merasa melepas sabuk pengaman. Tar berkali-kali mengatakan kalau saat itu dadanya gatal dan dia sedang menggaruk, bukan sedang memasang sabuk pengaman.

Kami semua penumpangnya juga membela Tar, dan bersaksi kalau sabuk itu memang terpasang sejak awal. Tapi apa yang terjadi? Setelah mengetahui bahwa kami adalah rombongan satu keluarga, mereka (Polisi) malah mengatakan bahwa kesaksian kami adalah palsu dan hanya untuk membela keluarga belaka.

Setelah bersitegang cukup lama, akhirnya salah satu Polisi tersebut menengahi dengan meminta Rp. 50.000,- sebagai ganti tilang. Meskipun setengahnya kami diperas, akhirnya kami berikan saja sejumlah uang yang diminta, daripada harus kembali ke Banyuwangi untuk sidang.

PER KEPALA 50 RIBU

Suatu ketika saya mengantarkan teman menuju salah satu wilayah lain di Jember. Motor yang digunakan kebetulan hanya memiliki satu spion. Saya yakin jika ada razia pasti kena. Dan keyakinan saya benar-benar terbukti! Di jalan yang kami lalui ternyata memang ada razia, dan kami memang dihentikan oleh Polisi.

Setelah ngomong panjang lebar tentang pelanggaran kami, Polisi tersebut menawarkan “titip sidang” jika kami memang tidak bisa menghadiri sidang. Saya kemudian bertanya; “kalau titip, berapa?” Wajar dong dong saya bertanya begitu?

Polisi yang gagah tersebut menjawab; “Denda pokoknya saja 50 ribu. Sedangkan denda pelanggarannya sesuai undang-undang, ini.” Sambil menunjukkan tulisan disebuah buku tilang. Saya baca;”Pelanggaran terhadap kelengkapan isyarat kendaraan dikenai denda sekurang-kurangnya 250 ribu” (kalau saya tidak salah ingat).

Saya bertanya lagi; “Jadi pasnya berapa?” Polisi itu menjawab; “Itung saja, denda pokok 50 tambah pelanggaran 250, jadi 300.” Wuuizz, banyak amat untuk sebuah spion saja. Di toko, spion paling 25 ribu sudah sepasang.

Saya menjawab sambil menghitung jumlah aparat yang ada;” Satu, dua….enam. Enam orang, jadi per kepala dapat 50 ribu dong?” Eh, Polisi itu marah-marah sambil mengatakan; “Kalau begitu sidang saja. Tapi jangan kaget kalau dendanya maksimum.” Okay, saya sidang!

Di hari yang ditentukan, saya menuju gedung pengadilan, eh masih di pintu gerbang sudah dihadang tukang parkir tanpa seragam dan meminta 2000 bayar muka. Padahal seharusnya gedung pemerintah kan bebas parkir? Belum lagi dihadang oleh orang-orang berseragam seperti di bawah ini;

2013-11-01 07.54.36

Mereka langsung menghampiri dan mengatakan; “ Ambil sekarang saja mas, gak perlu nunggu sidang. Kalau sidang masih nanti siang dan lama. Belum tentu juga lekas diberikan.” Jawab saya; “Berapa?” bukan maksud saya untuk menumbuh suburkan praktik tidak jujur seperti itu, tapi sekedar ingin tahu saja.

“50 saja, pas gak boleh kurang.” Jawab orang-orang itu. Saya menolak dan tidak berniat menawar sedikitpun. Akhirnya saya mengikuti sidang dan ternyata saya hanya diharuskan membayar denda 37 ribu saja. Weleh-weleh, kabeh wong kok yo mbathi yo?

SANDAL JEPIT Rp. 25.000,-

Kalau yang satu ini sudah benar-benar kebangetan! Salah seorang tamu saya, orang sudah berumur dan pekerjaannya hanya bertani saja, menceritakan kepada saya kalau habis kena Tilang 25 ribu gara-gara memakai sandal jepit saat mengendari motor. Padahal dia sudah memakai helm dan surat-suratnya lengkap. Sialnya lagi, dia kena razia saat hendak mencari rumput.

Kata Polisi, kalau mengendari motor harus menggunakan sepatu boot untuk alasan keamanan. Tapi kan ya lihat-lihat dulu dong! Masak ke sawah mencari rumput pakai sepatu? Masih untung tamu saya ini memakai helm, meskipun hanya sedang mencari rumput!

Kalau sudah begini, yang keblinger itu sebenarnya siapa?

Pakdhe U® @2013

Sumber: Diolah dari berbagai sumber!