Ucapan Selamat Datang

SELAMAT MENYIMAK SETIAP ULASAN YANG KAMI SAJIKAN

Minggu, 15 April 2012

Senja Dengan Lukisan Darah

Sastra Oleh : Pakdhe U®

Jember-IDN. Hari ini, langit di atas kita tak menampakkan keindahan seperti biasanya. Tak tampak biru cerah, atau biru dengan tingkah awan putih nan tipis yang menggemaskan. Tak tampak pula guratan cakrawala jingga di tempat peraduan sang mentari merebahkan cahyanya. Semua kini tiada.

Langit hanya bertabur debu dari semburat tanah coklat bercampur darah oleh ledakan ranjau dan bom yang dijatuhkan mesin-mesin laknat. Tangis anak-anak kehilangan ayah, tangis istri-istri kehilangan suami, tangis saudara yang kehilangan saudara lainnya, bersahutan dengan desing peluru tiada henti. Yatim, piatu, janda, tercampur baur dengan tumpukan jasad tak terurus. Mengenaskan.

Mengapa? Hanya itu yang mampu aku ucapkan sebagai bentuk tanya. Mengapa langit senja tak henti menampakkan lukisan darah? Mengapa aku harus banyak kehilangan saudara saudaraku di tanah Palestina? Mengapa saudara saudaraku harus menjadi janda, yatim dan piatu di negeri yang dulunya penuh berkah, yaitu tanah Persia. Mengapa?

Mungkin, kelak Tuhan akan menjawab semua pertanyaan itu. Dan jika saat itu sudah tiba, mungkin tidak ada lagi sepotong manusia di atas bumi ini. Tidak ada lagi bangsa Palestina, tidak ada bangsa Israel, tidak ada bangsa Iran, Amerika, bahkan dunia ini sudah musnah. Mungkin dunia akan kiamat karena terlalu banyak pertumpahan darah. Maka pikirkanlah!

^^ PERANG HANYA AKAN MENCIPTAKAN KEHANCURAN, AYO KITA HENTIKAN PERANG SAAT INI JUGA ! ^^

Penulis : Pakdhe U | Editor : Pakdhe U | Blog Client : Windows Live Writer 2011 | Copyrights © 2012/04.15-1801 @ www.pakdheu.blogspot.com

ARTIKEL TERBARU >>>

Kamis, 12 April 2012

Merindukan Jalan Yang Mulus

Oleh : Pakdhe U®

Jember-IDN. Saat ini, sebuah jalan raya yang mulus, dalam arti sebenarnya tanpa lubang-lubang, tanpa tambalan-tambalan maupun tanpa hambatan yang berarti, hanyalah merupakan mimpi yang sepertinya akan sangat sulit menjelma menjadi kenyataan. Khususnya, untuk daerah-daerah pinggiran yang sudah pasti jauh dari jangkauan pembangunan.

Di wilayah Kabupaten Jember sendiri, utamanya wilayah selatan, seperti Kecamatan Balung, Kecamatan Puger, Kecamatan Gumukmas, Kecamatan Kencong dan beberapa kecamatan di wilayah perbatasan dengan Kabupaten Lumajang, sangatlah mudah mendapati jaringan jalan yang berlubang atau hanya sekedar bergelombang karena ketebalan tambalan.

Entah karena fokus perhatian untuk perawatan jalan hanya diarahkan kepada jalan utama lintas kabupaten di wilayah utara, atau karena memang ketersediaan sarana dan prasarana pendukung untuk perbaikan yang tidak ada, yang pasti, kerusakan jalan di wilayah selatan Jember tidak hanya meliputi jalan desa saja, melainkan juga merambah ke jalan kabupaten juga.

Disinyalir, kerusakan jalan tersebut selain karena faktor perawatan yang asal-asalan; bagaimana mungkin bisa bagus jika untuk menutup lubang kecil di jalan hanya menggunakan mesin penggilas (stoomwheels) dengan kapasitas 1 ton, padahal kendaraan yang lewat bahkan melebihi 25 ton?

Faktor yang kemungkinan menjadi biang penyebab kerusakan jalan yang berikutnya adalah, ketiadaan saluran drainase yang baik di sepanjang jalan tersebut. Kalaupun ada, kebanyakan tidak berfungsi maksimal karena pendangkalan atau bahkan ada yang sudah ditutup secara permanen untuk dijadikan pelataran rumah atau toko. Akibatnya jika ada hujan, air yang seharusnya mengalir pada saluran drainase menjadi tumpah masuk ke jalan. Jalan berubah menjadi kubangan air dan bahkan berubah pula menjadi sungai kecil. Akibat selanjutnya adalah, struktur aspal jalan menjadi melemah, ditambah dengan beban kendaraan yang sangat jauh melebihi kapasitas tonase, maka lambat laun jalan menjadi rusak berat.

Kemudian penulis mencoba berjalan-jalan ke luar kota, ternyata masalah kerusakan jalan tidak hanya ditemukan di tempat penulis saja, melainkan di daerah lain juga menghadapi masalah yang sama, yaitu jalan yang jauh dari kata mulus. Katakan saja, di wilayah barat Kabupaten Banyuwangi, wilayah timur Kabupaten Jember, wilayah selatan Kabupaten Lumajang, beberapa bagian Kabupaten Probolinggo serta sebagian kecil wilayah Kabupaten Malang. Sebenarnya ada masalah apa ini? Kurang dana atau sebenarnya sudah ada dana tapi dikorupsi? Entahlah, sepertinya hanya Tuhan dan orang-orang yang terlibat urusan itu saja yang mengetahuinya.

Padahal, jika sarana jalan yang tersedia cukup terawat, dengan bahasa yang lebih halus adalah mulus, perjalanan kendaraan dalam menunjang perekonomian akan menjadi lancar. Imbasnya adalah penghematan dalam segala aspek. Jalan mulus, kendaraan menjadi jarang rusak yang artinya mengurangi biaya perawatan kendaraan. Jalan mulus, perjalanan kendaraan tidak terganggu, yang artinya BBM yang dikeluarkan bisa lebih hemat. Dan masih banyak lagi imbas-imbas yang lainnya sebagai dampak mulusnya jalan raya kita.

Tapi, jika kenyataannya adalah sebaliknya, apalagi jika penyebab semuanya adalah korupsi yang sistematis maupun korupsi yang tradisional, apa boleh buat, kita hanya bisa bermimpi untuk menikmati mulusnya jalan raya kita. Meskipun kita tidak pernah lupa membayar pajak, atau kita tidak pernah lupa membayar iuran perawatan jalan, tetap saja kita masih harus bermimpi.

Sampai jumpa di artikel selanjutnya..

Sumber : Kenyataan di lapangan.

Korupsi adalah pondasi yang paling kuat untuk membangun kerajaan setan dan cara yang paling tepat untuk menghancurkan sebuah peradaban “. (Pakdhe U)

^^ BERSAMA SAMA, AYO KITA HENTIKAN PEPERANGAN DI MUKA BUMI KITA ^^

Penulis : Pakdhe U | Editor : Pakdhe U | Blog Client : Windows Live Writer 2011 | Copyrights © 2012/04.12-1711 @ www.pakdheu.blogspot.com

ARTIKEL TERBARU >>

Minggu, 08 April 2012

Kuota Haji Hanya Satu Per Mil?

Oleh : Pakdhe U®

Jember-IDN. Haji adalah ibadah wajib umat muslim, bagi yang mampu. Haji adalah mimpi utama seluruh umat muslim, khususnya di Indonesia. Namun, sebagaimana pernah di ulas oleh penulis dalam Haji Indonesia Penuh Tanya, edisi 9 Maret 2012, Haji juga menyimpan banyak pertanyaan, polemik serta masalah.

Mungkin hanya sebagian yang mengerti, ternyata kuota Haji khususnya bagi negara-negara anggota OKI, ditetapkan hanya 1/1000 jumlah penduduk muslim. Ini artinya, jika penduduk muslim Indonesia, yang terdaftar pada PBB adalah sebanyak 240 juta, maka kuota haji Indonesia hanya 1/1000 X 240 Juta = 240 Ribu orang.

Kuota tersebut, meskipun merupakan keputusan negara-negara OKI, terasa tidak mencerminkan keadilan dan bahkan cenderung menghambat keinginan setiap individu muslim untuk menjalankan ibadah wajib, yaitu Haji. Khususnya bagi negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim dan memiliki tipikal penduduk yang merasa kurang afdol jika tidak menjalani ibadah Haji.

Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, seharusnya mendapatkan porsi lebih dalam mendapatkan kuota Haji, misalnya bukan 1/1000 melainkan 2/1000. Mengapa? Karena jumlah penduduk muslim yang besar dilengkapi dengan tipikal hasrat Berhaji yang menggebu, tentu angka 1/1000 tidak akan mampu mengimbanginya. Dampaknya, antrian untuk berangkat Haji menjadi sangat panjang dan melelahkan.

Penulis juga tidak memungkiri jika sarana dan prasarana penyelenggaraan Haji di Saudi Arabia cukup terbatas untuk jumlah tertentu saja, tapi bukan tidak mungkin jika hal itu bisa dilaksanakan?

Mungkin lebih baik jika penghitungan porsi kuota haji ditinjau ulang dan dicari rumusan baru dalam penentuan kuota haji. Misalnya; menggunakan rumusan untuk penduduk muslim lebih dari 100 Juta; 1/1000 X Penduduk Muslim = Kuota Haji, dan untuk penduduk muslim kurang dari 100 juta; 0,5/1000 X Jumlah Penduduk Muslim = Kuota Haji. Namun jika penduduk muslimnya kurang dari 100 ribu orang, memakai rumusan 1/100 X Jumlah Penduduk Muslim = Kuota Haji.  Ilustrasinya bisa dilihat sebagai berikut:

  1. Indonesia memiliki penduduk muslim 240.000.000, maka kuota yang harus didapat oleh Indonesia adalah (1 / 1000) X 240.000.000 = 240.000 orang.
  2. Negara yang lain memiliki penduduk muslim 50.000.000, maka kuota yang akan diperoleh adalah (0,5 / 1000) X 50.000.000 = 25.000 orang.
  3. Negara yang lain memiliki penduduk muslim 95.000, maka kuota yang akan diperoleh adalah (1/100) X 95.000 = 950 orang.

Insya Allah, jika rumusan-rumusan di atas diterapkan, tidak hanya kepada negara-negara anggota OKI melainkan kepada seluruh negara di Dunia yang memiliki komunitas muslim, mimpi untuk melaksanakan Haji bagi umat muslim akan menjadi kenyataan. Dan, rumusan tersebut lebih menunjukkan azas keadilan bagi umat.

Semoga Pemerintah Indonesia berkenan menyampaikan usulan di atas kepada seluruh negara yang memiliki komunitas Muslim atau negara anggota OKI. Semoga juga Pemerintah Kerajaan Arab Saudi berkenan mempertimbangkan usulan di atas, sehingga hak-hak seluruh umat muslim untuk melaksanakan kewajiban beribadah haji tidak terhalang. Amin.

Sampai jumpa di artikel selanjutnya

Sumber : Diolah dari berbagai sumber; Opini Pribadi.

^^ AYO KITA HENTIKAN PEPERANGAN DI MUKA BUMI !!! ^^

Penulis : Pakdhe U | Editor : Pakdhe U | Blog Client : Windows Live Writer 2011 | Copyrights © 2012/04.08-0830 @ www.pakdheu.blogspot.com®

ARTIKEL TERBARU >>

Kamis, 05 April 2012

Sinetron Indonesia “Mengajarkan Banyak Hal”

Oleh : Pakdhe U®

Jember-IDN. Membicarakan tentang Sinetron Indonesia, memang tidak akan pernah ada habisnya. Setelah sebelumnya penulis mengulas Sinetron Indonesia, kali ini penulis akan kembali mengulas tentang hal yang sama, yaitu Sinetron Indonesia.

Percaya atau tidak, ternyata Sinetron Indonesia sangat “Mengajarkan Banyak Hal” kepada kita sebagai penonton. Namun sayangnya, hal-hal yang diajarkan cenderung, bahkan dominan negatif. Mungkin tujuan penulis cerita atau produser sinetron tersebut adalah baik, yaitu untuk memberikan contoh kepada masyarakat bahwa tindakan buruk sebagaimana yang mereka tampilkan dalam sinetron adalah hal yang tidak baik dan pada akhirnya akan mendapatkan imbalan yang setimpal. Sebuah tujuan yang mulia bukan?

Namun ironisnya, masyarakat kita cenderung mudah menirukan hal-hal yang negatif yang dicontohkan sinetron, jika dibanding dengan mempelajari dampak dari perbuatan negatif yang dicontohkan. Mereka melakukan pola hidup berfoya-foya, hedonistik, ambisius, bahkan kejam karena “terinspirasi” oleh tayangan sinetron.

Tidak bisa kita pungkiri, memang selama ini sinetron Indonesia memiliki nada dan irama yang sama, identik serta seragam, meskipun dibalut oleh ratusan, bahkan ribuan judul yang berbeda. Nada dan irama yang penulis maksud adalah materi yang tersaji dalam sinetron, Bukankah sinetron kita tidak pernah jauh berputar-putar dari cerita tentang cinta, perselingkuhan, persaingan usaha, perebutan harta warisan serta cerita tentang kehilangan anak atau anak yang tertukar.

Menurut penulis, beberapa hal yang diajarkan oleh sinetron diantaranya:

  1. Mengajarkan tentang ambisi sesat dalam upaya memperebutkan harta warisan. Karena ajaran ini, banyak sekali peristiwa pembunuhan dan tindakan kriminal lainnya yang dilatari oleh perebutan harta.
  2. Mengajarkan tentang kekerasan dalam upaya merebut wanita atau pasangan pujaan hati. Berkat ajaran ini, banyak sekali remaja yang menghalalkan segala cara, bahkan dengan kekerasan demi mendapatkan pujaan hatinya.
  3. Mengajarkan tentang kedurhakaan kepada orang tua; Karena orang tuanya miskin, si anak tidak mau mengakui atau berpura-pura tidak mengenalnya khususnya jika di depan teman-teman sekolahnya. Ajaran hedonistik yang berujung ke kedurhakaan anak kepada orang tua inilah yang sering ditonjolkan dalam sinetron Indonesia.
  4. Mengajarkan hidup boros dengan menampilkan gaya hidup mewah dan berlebihan yang sebenarnya bertolak belakang dengan kenyataan di Indonesia. Coba lihat, sinetron mana yang tidak menampilkan gaya hidup mewah serta berlebihan? Tidak ada bukan?
  5. Mengajarkan tentang begitu tidak pentingnya pendidikan. Bagaimana tidak? Bukankah dalam sinetron Indonesia, meskipun lattar yang dipakai adalah sekolah, tapi yang ditunjukkan justru bukanlah belajar yang serius, melainkan berkelahi, rebutan pacar, pamer kekayaan dan sebagainya. Jauh lebih baik jika tidak usah menampilkan lattar sekolahan atau berseragam sekalian.

Di atas hanyalah sebagian kecil poin-poin yang diajarkan oleh sinetron Indonesia. Namun bukan berarti hanya cukup sampai di situ. Karena jika mau dikaji lebih dalam dan lebih jauh, banyak sekali hal-hal negatif yang diajarkan sinetron Indonesia kepada setiap penontonnya.

Apakah ini menandakan jika penulis cerita atau produser sinetron hanya berorientasi pada keuntungan semata? Karena pada kenyataannya sinetron-sinetron tersebut laris manis dan ratingnya cukup tinggi. Akhirnya, otomatis menjadi tambang penghasilan bagi para produser, penulis cerita serta televisi yang menayangkannya.

Ataukah ini lebih menandakan jika penulis-penulis sinetron kita “miskin cerita? Karena bila diamati lebih teliti, memang cerita yang disajikan sangat memperlihatkan pola yang sama, cerita yang berputar-putar dan “mbulet” sampai-sampai bosan melihatnya.

Apapun yang disajikan dalam sinetron Indonesia, jika anda peduli dengan masa depan bangsa, khususnya masa depan moral anak-anak bangsa, mulai hari ini matikan televisi pada jam-jam tayangan sinetron. Atau jika ada alternatif tayangan pendidikan, budaya maupun tayangan yang sifatnya lebih mendidik, alihkan channel televisi yang menayangkan sinetron ke channel televisi tersebut.

Sampai jumpa pada artikel selanjutnya..

Sumber : Opini Pribadi.

Televisi adalah sebuah kotak ajaib, yang bisa membuat kita menjadi apa saja. Menjadi baik sebaik-baiknya orang atau justru menjadikan jahat sejahat-jahatnya orang, semua tergantung pada kita yang memilih tayangannya “. (Pakdhe U®)

^^ AYO KITA HENTIKAN PERANG DI MUKA BUMI ^^

Penulis : Pakdhe U | Editor : Pakdhe U | Blog Client : Windows Live Writer 2011 | Copyrights © 2012/04.05-0840 @ www.pakdheu.blogspot.com

ARTIKEL TERBARU >>

Senin, 02 April 2012

Jalan Panjang Meraih Keadilan

Oleh : Pakdhe U®

Jember-IDN. Kata keadilan, adil, cukup mudah untuk diucapkan. Namun, untuk implementasinya ternyata tidak semudah mengatakannya. Adil bagi sebagian orang, belum tentu adil juga bagi sebagian orang yang lain. Padahal, makna adil sendiri adalah equal, seimbang dan tidak ada satupun yang dirugikan. Jadi, jika ada sebuah keputusan yang dikatakan adil namun masih menyisakan tanya bagi sebagian orang yang menganggap belum adil, maka keputusan tersebut lebih tepat disebut timpang atau belum adil.

Ternyata juga, keadilan diidentikkan dengan besaran nilai rupiah yang disetorkan sebagai upeti kepada para penegak hukum. Sudah jamak di masyarakat, jika ingin perkaranya menang atau setidaknya diputuskan menang di pengadilan, sejumlah nilai rupiah harus disiapkan sebagai upetinya. Bahkan, tidak urung apa yang diperjuangkan di pengadilan tersebut tidak bisa dinikmatinya.

Penulis pernah mengikuti sebuah kasus sengketa Pemilihan Kepala Desa dari tingkat pengadilan pertama sampai tingkat ketiga. Pada pengadilan pertama, pemenang Kepala Desa yang digugat oleh pihak yang kalah selisih satu suara dalam Pilkades, dimenangkan oleh pengadilan. Kemenangan ini tentu bukan tanpa biaya. Pengacara yang digunakan jasanya, mengutip biaya dengan nilai jutaan, plus biaya ekstra yang katanya untuk melicinkan kemenangan.

Merasa tidak puas, penggugat naik ke pengadilan tingkat berikutnya yaitu banding. Mungkin, karena nilai rupiah yang disetorkan lebih banyak atau mungkin juga karena pengacaranya lebih licin, maka pada tingkat ini penggugat yang meraih kemenangan. Tergugat tentu tidak tinggal diam. Tergugat yang notabene merupakan pemenang Pilkades, melangkah ke tingkat berikutnya dengan modal rupiah yang lebih tebal. Bisa ditebak, dalam tahap ini pihak tergugat yang menang.

Mungkin karena sudah kehabisan modal, konon katanya sampai menjual beberapa petak sawah dan sebuah rumah, pihak penggugat menyerah begitu saja dan memberikan kemenangan kepada pihak tergugat. Meski begitu, bukan berarti masalah sudah selesai. Pihak tergugat memang benar-benar menjabat sebagai Kepala Desa, namun sudah tidak mempunyai apa-apa lagi.

Tanah bengkok, yang menjadi haknya, sudah digadaikan untuk membiayai seluruh kebutuhan perkara. Itupun masih menanggung hutang sampai ratusan juta. Tepatnya sekitar Rp. 250.000.000,- untuk modal mencalonkan diri menjadi Kepala Desa. Jadi, menjadi Kepala Desa hanya memperoleh kebanggan belaka, sedangkan kekayaan harus direlakan hilang tanpa bekas.

Penulis juga pernah mengikuti sebuah kasus sengketa tanah yang hampir mirip. Mengapa hampir mirip? Karena pola persidangannya tetap dan tidak berubah, yaitu tingkat pertama penggugat dimenangkan. Tingkat selanjutnya penggugat dikalahkan. Tingkat selanjutnya penggugat kembali dimenangkan. Terus seperti itu sampai ada pihak yang menyerah karena kehabisan rupiah. Dalam kasus sengketa tanah ini, pihak tergugat terpaksa menyerah setelah menghabiskan dana sampai sekitar Rp. 300.000.000,- dan ironisnya, pemenang dalam perkara ini juga tidak mendapatkan tanahnya. Karena setelah dia mendapatkan tanahnya, tanah tersebut dia jual untuk membayar pengacara dan kebutuhan siluman lainnya dalam persidangan.

Dalam dua kasus di atas, yang diuntungkan tentulah para pengacara, baik dari pihak tergugat maupun pihak penggugat. Klien mereka menang atau kalah, mereka tetap mendapatkan penghasilan yang luar biasa. Mereka tidak perduli, meskipun semua biaya yang dibayarkan kepada mereka adalah hasil menggadaikan, menjual obyek mata pencaharian atau hasil hutang. Seolah, bagi mereka menang atau kalah tetaplah menjadi kaya. Boleh dikatakan, mereka kaya dari hasil penderitaan orang lain.

Bahkan ada seorang sahabat “tukang rumput” yang lain yang mengatakan, “enak jadi pengacara, kerjanya ngomong ngalor ngidul dan ngotot, tapi penghasilannya luar biasa”. Penulis tidak mengomentari pernyataan tersebut, namun ini bisa menjadi indikasi bahwa untuk meraih keadilan, kita harus merelakan seluruh harta kekayaan kita diberikan untuk memperkaya para penegak hukum. Ingin menang atau kalah, sama saja.

Kemudian penulis ingat kasus lain. Kali ini ada seorang sahabat yang tertimpa musibah kecelakaan lalu lintas. Sepeda motornya menyerempet pengendara sepeda angin yang membawa beban rumput berlebihan dan tiba-tiba menyeberang tanpa memberi tanda. Peristiwa tersebut terdengar oleh Polisi, sehingga Motor dan Sepeda angin harus dibawa ke polres. Ironisnya, kejadian motor dan sepeda tersebut dibawa petugas setelah pihak yang menabrak maupun yang ditabrak sudah menyelesaikan secara kekeluargaan.

Sahabat penulis yang menabrak menjamin pemberian ganti kerugian yang layak dan pihak yang ditabrak juga menerima dengan ikhlas, tercantum dalam pernyataan bermaterai. Entah siapa yang melapor, mungkin tetangganya ada yang jadi polisi, tiba-tiba datang petugas menyita motor dan sepeda angin tersebut.

Dengan berbekal surat pernyataan yang dibuat sebelumnya, penulis mengantarkan sahabat ini mengambil sepeda motornya di Polres. Ternyata, biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp. 2.700.000,- tanpa tanda terima, dengan dalih untuk biaya perkara di pengadilan. Enak betul ya? Kita yang celaka, kita yang menanggung kerugian, kita sudah sepakat damai, eh, mereka dengar, mereka bawa motor kita hanya semalam, mereka dapat uang jutaan.

Pantas saja dulu nenek penulis sering mewanti-wanti alias menasehati; “jangan sampai kamu berurusan dengan Hukum. Jangan pernah bercita-cita menjadi aparat penegak hukum.” Ternyata benar adanya, berurusan dengan hukum sama halnya mendapatkan setumpuk kesialan meskipun tujuan kita untuk mendapatkan keadilan. Sedangkan menjadi aparat penegak hukum, sama halnya kita menceburkan diri kita untuk tergoda dan bermain-main dengan hukum yang pada akhirnya merugikan orang lain.

Catatan: Tidak Semua Penegak Hukum itu Bejat, namun sistem yang ada yang merefleksikan seolah-olah semua penegak hukum itu bermasalah.

Sumber: Pengalaman Pribadi.

Hukum hanya akan menjadi tulisan tanpa makna, jika pihak-pihak yang seharusnya menjunjung tinggi hukum, lebih terpaku pada hukum rupiah”. (Pakdhe U®)

^^ AYO HENTIKAN PERANG DI MUKA BUMI ! ^^

Penulis : Pakdhe U | Editor : Pakdhe U | Blog Client : Windows Live Writer 2011 | Copyrights © 2012/04.02-0729 @ www.pakdheu.blogspot.com

ARTIKEL TERBARU >