Ucapan Selamat Datang

SELAMAT MENYIMAK SETIAP ULASAN YANG KAMI SAJIKAN

Jumat, 29 Maret 2013

Biaya Demokrasi

By. Pakdhe U®

Jember-INA. Siapa orangnya yang tidak suka menjadi Kepala Desa? Mungkin ada yang tidak suka, namun itupun hanya bisa dihitung dengan jari. Siapapun pasti suka dan mau menjadi Kepala Desa. Bagaimana tidak mau? Sudah panggilannya keren, Pak Lurah, Pak Inggi, Pak Kades, masih dapat tanah garapan lagi. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk bisa menduduki jabatan sebagai Kepala Desa. Ada yang positif, namun ada juga yang negatif. Apalagi di zaman sekarang, dimana Demokrasi sudah menjadi barang yang lumrah, pemillihan pemimpin dengan cara langsung sudah jamak, tentu banyak cara bisa dilakukan.

Dalam kurun tiga bulan terakhir, terhitung sejak Januari, penulis mengamati beberapa proses Demokrasi di sekitar tempat tinggal penulis. Bahkan satu diantara proses tersebut, penulis mengalaminya sendiri sebagai partisipan. Proses Demokrasi yang penulis maksudkan ialah Proses pemilihan Kepala Desa. Satu di Desa penulis sendiri, dan enam lainnya di Desa yang bertetangga. Khusus di Desa penulis, diadakan pemilihan dikarenakan Kepala Desa sebelumnya meninggal sebelum masa akhir jabatan, sedangkan di Desa yang lainnya karena memang sudah saatnya masa akhir jabatan.

Ada yang menarik dan perlu untuk dicermati dari proses demokrasi ini. Ternyata waktu pelaksanaan pemilihan diadakan secara serentak untuk tiga atau lebih Desa dalam satu Kabupaten. Alasan yang disampaikan juga cukup beragam, sehingga membuat bingung siapapun yang mungkin bertanya. Tapi untungnya tidak ada yang bertanya, kecuali penulis mungkin? Kalau menurut penjelasan Perangkat Desa yang penulis kenal; penentuan hari pelaksanaan secara serentak ditujukan untuk penghematan anggaran. Sepertinya memang masuk akal, mengingat biaya pelaksanaan, pengamanan dan segala macam kebutuhan pemilihan untuk satu pemilihan saja cukup besar.

Tapi, dilain pihak ada yang mengatakan jika pelaksanaan yang demikian tersebut (serentak-pen.) bertujuan untuk memecah konsentrasi para Penjudi Kakap yang turut bermain-main dalam proses tersebut. Uniknya, yang mengeluarkan pendapat ini justru dari pihak keamanan yang mungkin memang sudah mengindikasikan akan adanya perjudian dalam Pemilihan Kepala Desa, tapi tidak memiliki kemampuan untuk menangkap penjudi-penjudi tersebut. Dalam sebuah obrolan di warung kopi, banyak “orang asing”, yang penulis tidak mengenalnya, berkeluh kesah dan mengatakan menjadi bingung dan kesulitan untuk “bermain” di tiga tempat sekaligus karena modal habis. Ternyata makna “bermain” adalah berjudi. Ini bisa menjadi indikasi bahwa alasan menghindari atau memecah penjudi, juga masuk akal.

Ketika penulis mencoba menelusuri lebih jauh ke beberapa sumber yang terlibat langsung, ternyata banyak sekali hal-hal yang sangat mengejutkan dan sebenarnya tidak mewakili azas Demokrasi itu sendiri. Diantaranya adalah sebagai berikut:

  • Peserta Pemilihan Kepala Desa

Ada kesamaan dari sisi peserta diantara semua Desa yang menyelenggarakan Pemilihan Kepala Desa, yaitu keikutsertaan perempuan dalam Pemilihan Kepala Desa. Beberapa diantara mereka merupakan Istri dari Kepala Desa sebelumnya, yang sudah tidak bisa lagi maju dikarenakan sudah menjabat selama dua periode. Ada juga yang merupakan Istri dari Perangkat Desa yang harus maju karena Suaminya tidak memiliki Ijazah yang sesuai untuk maju menjadi calon Kepala Desa.

Kesamaan lain yang ditemukan diantaranya adalah latar belakang dari para peserta pemilihan; ada yang merupakan incumbent, ada yang mantan Kepala Desa yang pada periode sebelumnya tidak terpilih, bahkan ada yang merupakan “Tokoh Besar”, namun dari dunia hitam. Konon kata sebagian besar orang yang penulis temui, Tokoh Besar ini adalah mantan rampok dan sekarang berubah haluan menjadi penadah motor curian. Entah benar atau tidak, namun jika melihat gaya mereka dalam menjaring dukungan, sepertinya memang tidak bisa disangkal lagi.

Bahkan dalam sebuah Desa yang mempunyai Calon tiga orang, semuanya orang-orang yang tidak beres. Satu merupakan mantan pembunuh bayaran, entah sudah insyaf atau belum, namun Calon yang satu ini mengajukan Istrinya sebagai Peserta. Untung saja tidak menang. Sedangkan dua yang lainnya adalah mantan rampok dan penjudi kelas berat. Mungkin karena keberuntungannya, si penjudi itu yang menang. Ketika ditanyakan kepada masyarakat, mengapa memilih penjudi, mereka berdalih masih lebih baik penjudi daripada mantan rampok atau mantan pembunuh bayaran. Kalau dipikir ternyata ada benarnya juga.

  • Sumber Dana Peserta

Dari semua peserta pemilihan Kepala Desa yang diamati, mayoritas mendapatkan dana dari pihak lain dengan cara hutang. Ada beberapa yang mendapatkan dana dari menggadaikan atau malah menjual tanah serta sawahnya. Beberapa bagian kecil mendapatkan suntikan dana penuh dari Penjudi Besar dengan harapan tanah kas Desa digarap sepenuhnya oleh mereka. Bagaimana mereka tidak mengandalkan pihak lain yang bergelimang uang, toh pendaftaran saja harus menyetor di muka sebanyak Rp. 17 Juta.

Sedangkan sisanya dilunasi seminggu sebelum pemilihan. Dengar-dengar untuk satu pemilihan membutuhkan dana sampai Rp. 140 juta, yang ditanggung sejumlah peserta. Belum lagi dana siluman untuk membeli suara yang per kepala biasanya mendapat Rp. 20 ribu. Bahkan ada yang berani membeli dengan harga Rp. 200 Ribu lebih. Hitung saja berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh para calon untuk memenangkan pemilihan? Menurut sumber dari tim kampanye yang penulis kenal, sekurang-kurangnya Rp. 200 Juta habis untuk keperluan menjaring suara saja.

  • Kampanye Para Peserta

Hampir semua peserta yang penulis temui menerapkan gaya kampanye hitam, alias saling melakukan pembelian suara atau bisa disebut dengan “bom boman” pada calon pemilih. Ada yang memanfaatkan sisi gelap masa lalunya untuk menakut-nakuti warga plus diiming-imingi sejumlah rupiah agar mau memilih calon mereka. Ada yang melakukan penghadangan terhadap team sukses calon lain agar tidak masuk dan mengebom warga yang menjadi basis calon tersebut. Dan masih banyak lagi cara-cara kotor lainnya yang sangat menjijikkan untuk disebut di sini.

  • KESIMPULAN

Demokrasi yang memiliki makna “ Dari rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat” ternyata tidak semurah nasi pecel atau pisang goreng. Banyak sekali biaya yang dikeluarkan untuk mewujudkan azas Demokrasi tersebut. Namun dari ulasan di atas, yang cukup mengusik hati penulis adalah; untuk pemilihan pemimpin di tingkat desa saja intriknya sudah seperti itu hebat, lalu bagaimana dengan pemilihan pemimpin di tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi dan bahkan Presiden?

Adakah hubungannya antara Politikus yang kedapatan Korupsi dengan pengumpulan dana partai menjelang Pemilu 2014? Adakah hubungannya dengan gonjang-ganjing KPK dalam menuntaskan Korupsi, yang mungkin ada pejabat KPK yang mengetahui ada sesuatu yang besar dibalik kasus semacam century, hambalang, wisma atlit dan sebagainya yang mengarah kepada partai politik dalam mendulang dana menjelang Pemilu?

Ah, siapa yang tahu? Toh rakyat sekarang sudah cerdas. Sekarang memang saatnya memilih dengan hati yang jernih dan bukan dengan uang. Lalu bagaimana dengan permainan Politikus busuk itu? Biarlah itu dibawa mereka sendiri sampai membusuk di dasar neraka.

Sampai jumpa lagi dalam artikel selanjutnya..

Penulis : Pakdhe U® | Editor : Pakdhe U® | Blog Client : Windows Live Writer  ©2903-2013

“ PERANG TIDAK PERNAH MENJANJIKAN APA-APA, KECUALI DERITA TANPA BATAS DAN KEMENANGAN TANPA MEDALI”

ARTIKEL TERBARU >>

Selasa, 26 Maret 2013

Beban Rakyat Kecil Semakin Berat

By: Pakdhe U®

Jember-IDN. Meskipun penulis pernah mengulas permasalahan BBM (Bahan Bakar Minyak); BBM=Benar Benar Menyusahkan, dan BBM Naik, Salah Siapa?, bukan berarti permasalahan tersebut tidak layak lagi untuk diungkapkan kembali. Justru belakangan ini, permasalahan BBM kian menghangat dan menyakitkan. Terhitung sejak tanggal 15 Maret 2013, semua SPBU tidak lagi melayani pembelian BBM menggunakan jerigen lebih dari 10 Liter jika tanpa disertai surat rekomendasi dari Kecamatan.

Jika kita adalah pengusaha bensin atau solar eceran, mungkin masalah tersebut tidak menjadi beban berat, karena memang konsumsi BBM setiap harinya lebih dari 40 Liter. Kita tinggal melangkah ke Kecamatan, siapkan uang Rp. 15 – 20 Ribu, sudah bisa dengan bebas membeli menggunakan jerigen. Namun tidak demikian halnya dengan penulis yang sekedar “tukang rumput” biasa, alias petani. Jika sudah musim tanam seperti saat ini, setidaknya membutuhkan 170 liter solar dalam sekali musim untuk mentraktor sawah.

Photo-0142

Traktor Andalan

Setiap harinya paling banyak membutuhkan 20 Liter solar untuk kegiatan mentraktor sawah. Jika diwajibkan menggunakan surat rekomendasi dari Kecamatan, selain dipastikan kehilangan sedikit uang, juga akan kehilangan sedikit waktu. Jika dipilih cara tanpa surat rekomendasi, dalam hal ini menggunakan jerigen 10 Liter, justru banyak waktu yang terbuang. Karena untuk memenuhi kebutuhan 20 Liter Solar, penulis harus pulang balik ke SPBU lebih dari satu kali. Seharusnya sudah menyelesaikan 1 petak sawah, eh masih harus berkutat mencari solar. Oiya hampir lupa, pembelian menggunakan jerigen maksimum 10 Liter juga dibatasi oleh waktu,yaitu tengah malam sampai sebelum jam 5 pagi. Sungguh merepotkan.

Tapi, penulis menyadari sepenuhnya, bahwa itulah resiko yang harus dihadapi oleh rakyat kecil. Itulah beban yang memang harus ditanggung oleh rakyat biasa. Dimana orang-orang kaya dengan bebasnya membeli BBM beratus-ratus liter, meskipun tanpa diketahui kemudian diselang untuk dijual eceran, sebagai cara termudah menghindari penggunaan surat rekomendasi Kecamatan; kita, penulis, dan orang-orang lemah lainnya yang tergabung dalam keluarga Rakyat Kecil, harus bersusah payah untuk mendapatkan BBM. Meski BBM tersebut digunakan untuk sekedar menyambung hidup, menambah penghasilan sekalipun.

Sepertinya tidak bisa kita pungkiri, ada yang salah dengan Bangsa ini. Entah sistemnya, entah birokrasinya, entah manusia-manusia yang memimpinnya, entah apalah, yang pasti ada yang tidak beres. Jika beres dan memenuhi azas keadilan, tentu semua lapisan konsumen diwajibkan untuk menggunakan surat rekomendasi Kecamatan jika menebus BBM lebih dari 10 Liter. Tidak perduli penjual bensin/solar eceran, pemilik mobil pribadi, pengusaha angkutan maupun rakyat kecil yang membutuhkan BBM untuk mengolah sawah. Jika pengusaha angkutan bebas membeli Solar 100 Liter setiap hari tanpa perlu menggunakan Surat Rekomendasai Kecamatan, lantas mengapa pengusaha BBM eceran dan rakyat kecil diwajibkan menggunakan surat rekomendasi Kecamatan? Adilkah? Padahal mereka hanya membeli kurang dari 100 Liter. Bukankah ini gila?

Atau sebaliknya, jika penulis bersama rakyat kecil yang membutuhkan BBM setidaknya 20 liter (menggunakan jerigen), bukan untuk ditimbun, bukan untuk diselundupkan, wajib dan harus menggunakan surat rekomendasi Kecamatan untuk menebus BBM, lalu mengapa pemilik truk-truk besar, pengusaha angkutan, dan orang-orang kaya yang memiliki mobil (baik mewah maupun biasa), yang tentu kapasitas tangki mobil mereka melebihi kapasitas jerigen kami, tidak diwajibkan untuk mengurus atau menggunakan surat rekomendasi Kecamatan? Lalu, siapa yang gila kalau begini?

Siapa yang Gila? Yang pasti bukan penulis atau pengunjung/pembaca Blog penulis ini dong! Sudah ah, sampai jumpa lagi pada artikel selanjutnya..

Penulis : Pakdhe U | Editor : Pakdhe U | Blog Client : Windows Live Writer

Masa Berlaku Artikel : Maksimum 12 bulan dari tanggal Posting

Sumber Artikel :

  1. Pengalaman Pribadi Penulis
  2. SPBU Terdekat

ARTIKEL TERBARU >>

** Perang yang dihamparkan oleh manusia di muka Bumi, kelak akan menjadikan manusia tersisa dua hal, yaitu kebodohan dan kepengecutan. Maka, sebelum kita menjadi bodoh dan pengecut, ayo hentikan perang sekarang juga!! **