Ucapan Selamat Datang

SELAMAT MENYIMAK SETIAP ULASAN YANG KAMI SAJIKAN

Sabtu, 23 Juli 2011

Mengenalkan Jajanan Tradisional

Jember-Indonesia. Mungkin pernah dengar suatu jajanan dengan nama Cenil, Thiwul, Gethuk atau Apem? Atau barangkali juga pernah mendengar Klepon, Jemblem dan Pethulo? Bagi anak-anak jaman sekarang, nama-nama tersebut mungkin asing di telinga mereka. Maklum, nama jajanan tersebut memang sudah usang alias jajanan tempo dulu. Kalaupun masih ada, mungkin hanya bisa ditemukan di pasar-pasar tradisional tertentu saja.

Dulu, sewaktu penulis masih kecil, penulis sangat suka sekali dengan jajanan-jajanan tersebut. Selain murah meriah, jajanan tersebut juga enak rasanya. Bahkan, sampai saat inipun, jajanan tersebut masih menjadi kegemaran penulis. Sayangnya, pamor jajanan tradisional tersebut sudah mulai padam dan tersisih oleh jajanan modern buatan pabrik dan jajanan modern yang mengemas unsur gengsi. Padahal, selain enak rasanya, jajanan tersebut juga terbukti sangat menyehatkan. Karena selain terbuat dari bahan-bahan alami, selama proses pembuatannya juga tidak menggunakan bahan pengawet maupun pemanis buatan. Memang ada yang menggunakan bahan aditif tambahan dalam proses pembuatannya, namun itu bisa dihitung dengan jari. Kalaupun ingin benar-benar aman, kita juga bisa membuatnya sendiri di rumah karena cara pembuatannya cukup mudah.

Coba bandingkan dengan jajanan modern? Dalam setiap kemasan pasti tertulis kandungan pewarna buatan, pemanis buatan, perasa makanan dan tentunya bahan pengawet makanan. Jika produsen mengklaim produk mereka tanpa bahan pengawet, itu adalah bohong besar. Bagaimana mungkin sebuah produk yang tanggal kadaluwarsanya satu tahun dari tanggal produksi tidak menggunakan bahan pengawet? Rasanya mustahil bukan? Dalam jumlah sedikit kandungan-kandungan bahan aditif tersebut memang tidak berbahaya. Namun jika dikonsumsi secara simultan, dapat juga mempengaruhi kinerja metabolisme tubuh secara signifikan. Apalagi dengan merujuk pada gaya jajan anak-anak modern yang seolah tak kenal henti; ada tukang roti, beli; ada tukang es, beli; ada toko, beli.

Sudah saatnya bagi kita semua untuk peduli dengan kesehatan buah hati kita. Peduli dengan eksistensi jajanan tradisional kita. Dengan cara mengenalkan jajanan tradisional kepada generasi anak-anak dan remaja kita mulai sekarang, sama halnya dengan mengajarkan untuk hidup hemat, hidup sehat dan mengenal sebuah tradisi. Hemat, karena harga jajanan tradisional tersebut yang cukup murah meriah. Jika kita asumsikan uang saku anak-anak kita adalah Rp. 5000, dengan membeli jajanan tradisional Rp. 3000, sudah dapat tiga buah jajan yang mengenyangkan, masih ada sisa Rp. 2000 yang tentunya bisa disisihkan untuk keperluan yang lain.

Dengan uang yang sama digunakan untuk membeli Donat, Burger atau sejenis jajanan modern lainnya, meskipun gerai-gerai jajanan tersebut menyebutkan harga hemat dan mengenyangkan, toh setidak-tidaknya hanya dapat satu buah jajanan. Sama sekali tidak ada uang sisa. Memang, dengan membeli burger atau donat, kita sudah "nampak seperti orang" kaya. Padahal, kita hanya manusia Indonesia yang masih penuh tanggungan hutang.

Jadi intinya, dengan kondisi keuangan kita yang masih kembangkempis, menanggung hutang dan tidak tentu arah kesuksesannya, janganlah kita membanggakan diri dengan membeli jajanan modern yang belum tentu sehat. Jauh lebih baik dan bijaksana jika kita tetap melestarikan jajanan tradisional dan mengenalkannya secara konsisten kepada anak-anak generasi penerus kita. Para pendahulu kita mampu mendirikan bangsa ini, mampu melawan penjajah dan mampu menjadi tokoh besar, padahal mereka juga makan Thiwul, Gaplek, Gethuk serta jajanan tradisional lainnya.

Penulis sangat bangga bisa menikmati Nogosari, Gethuk, Apem, Onde-onde, Thiwul, Jemblem, Cenil, Mendhut, Kicak, Unti, Bikang, Klepon dan jajanan tradisional lainnya. Bagaimana dengan anda? Masihkah menikmati gengsi dari paket hemat 5000 mengenyangkan dari jajanan modern atau jajanan pabrik dalam kemasan plastik? Cobalah nikmati Klepon dan sahabat-sahabat sejenisnya, pasti uuuuuuuenak tenann.

Sampai ketemu di ulasan selanjutnya...

Penulis : Pakdhe U | Editor : Pakdhe U | Sumber : Opini Pribadi | Copyright@2011 |smille me |

Potret Seorang Buruh Tani

Jember-Indonesia. Mendapatkan kehidupan yang layak adalah dambaan setiap orang. Yang dimaksud dengan layak adalah dalam bidang ekonomi, sosial dan yang paling penting adalah dalam bidang pendidikan. Namun,kehidupan layak seolah menjadi barang mewah yang sulit tersentuh ataupun direngkuh, khususnya bagi orang-orang yang nasibnya kurang beruntung. Buruh tani misalnya.

Jangankan untuk memberikan pendidikan bagi anak-anaknya, untuk mencukupi hidup keluarganya saja masih harus membanting tulang, bekerja keras tanpa mengenal waktu. Pagi-pagi buta sudah meninggalkan rumah untuk bekerja. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mendapatkan hasil yang lebih. Setelah matahari hampir tenggelam, barulah mereka pulang. Dan itu, dilakukan setiap hari dengan waktu istirahat yang terkadang tidak ada.

Namun bagi buruh tani yang memiliki sawah garapan cukup luas, nampaknya memang cukup bisa bernafas lega. Apalagi jika ditunjang dengan juragan yang baik dalam pelayanan kerjasamanya. Meskipun hal yang demikian terkadang masih harus dibayar dengan mahal, yaitu lemburan kerja sampai malam hari untuk sekedar mengairi sawah.

Terlepas dari potret seorang buruh tani yang demikian, pemenuhan hak akan pendidikan, sosial dan ekonomi harus tetap dan terus diperjuangkan. Karena hak yang dimaksud sudah menjadi hak setiap warga negara, sebagaimana sudah diatur dalam UUD 45. Perihal bagaimana caranya? Adalah sudah menjadi kewajiban kita semua untuk bersama memikirkannya dengan baik dan cermat.

Gagasan pembagian Raskin mungkin adalah salah satu diantara sekian banyak cara yang diterapkan dalam upaya pemenuhan hak kelayakan ekonomi terhadap kaum miskin, diantaranya disini adalah kaum buruh tani. Meskipun dalam penerapannya di lapangan masih diperlukan pengaturan manajemen dan pengurangan birokrasi yang berbelit, program Raskin memang layak diacungi jempol.

Kembali ke potret seorang buruh tani.

Tidak sedikit pula buruh tani yang menikmati kesuksesan, sebagai buah dari kerja kerasnya yang tak mengenal lelah. Diantara mereka bahkan ada yang mampu memenuhi panggilan untuk berhaji dan memiliki anak-anak yang cerdas sehingga mampu meraih gelar sarjana. Dengan demikan, peningkatan status dari buruh tani penggarap menjadi petani pemilik lahan pun dapat diraihnya.

Kunci dari kesuksesan mereka ternyata cukup sederhana. Mau tahu? Pertama, mereka tidak pernah mengeluh dengan apapun pekerjaan mereka. Seberat apapun, mereka mengerjakannya dengan ikhlas. Kedua, mereka senantiasa hidup dalam kesederhanaan dan kesahajaan. Tidak pernah memaksakan sesuatu yang sekiranya tidak mampu diraih meskipun sebenarnya hal tersebut dengan mudah didapatnya. Asas prioritas selalu mereka gunakan.

Ketiga, senantiasa menyisihkan sebagian hasil kerja keras mereka dalam berbagai bentuk investasi, bahkan ketika hasil yang mereka dapatkan tergolong hasil yang sedikit. Sehingga ketika hasil yang mereka kumpulkan cukup untuk membeli sebidang sawah, meskipun tidakcukup luas. Keempat, mereka tidak pernah melupakan pendidikan anak-anaknya. Dengan pemikiran dan harapan agar kelak nasib anak-anak mereka tidak serupa dengan nasib mereka.

Kelima dan terpenting, mereka senantiasa bersyukur atas setiap apapun yang mereka dapatkan dan tak henti-hentinya berdo'a untuk kebaikan keluarga mereka. Itulah beberapa kunci sukses dari para buruh tani yang mengalami keberhasilan dalam menjalani hidup serta berubah status dari buruh tani penggarap menjadi petani pemilik lahan. Semua hal tersebut penulis pelajari dan amati selama beberapa waktu sepanjang penulis tinggal bersama mereka.

Sekarang, bagaimana dengan anda? Masihkah anda menghamburkan uang demi sesuatu yang bukan merupakan prioritas utama? Masihkah anda berkiblat pada gengsi dengan cara membelanjakan uang anda untuk makanan yang bermerek asing, baju dan segala macam pendongkrak tampilan, padahal segala uang tersebut adalah hutang pada bank karena mereka menggunakan kartu kredit. Masihkah anda merasa kurang dengan segala apapun yang sudah diraih selama ini? Lalu dimanakah rasa bersyukur anda?

Terlepas dari bagaimana anda menjalani hidup dan menikmatinya, penulis sampaikan terimakasih atas perhatiannya terhadap ulasan penulis. Semoga dengan tulisan ini, hati dan pikiran anda bisa terbuka lebar bahwa disekitar kita ada orang-orang yang memerlukan perhatian khusus dan diantara mereka ada yang mampu berhasil dengan kerja keras meskipun harus menyingkirkan gengsi.

Sampai jumpa di ulasan berikutnya....

Penulis : Pakdhe U | Editor : Pakdhe U | Sumber : Ahmadi, H. Alwi, B. Hartono | Copyright @2011 |smille me

Minggu, 10 Juli 2011

Sinetron Di Dispenduk Jember Episode 1

Jember-Indonesia. Sebagai warga Jember yang ber'itikad baik, tentunya penulis ingin melengkapi seluruh dokumen administrasi kependudukan yang wajib dimiliki oleh setiap penduduk. Baik itu Kartu Keluarga Nasional (SIAK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), maupun Akte Kelahiran. Seluruh dokumen tersebut sudah dimiliki oleh penulis, namun pada tahun 2011 ini, khusus untuk KTP dan SIAK/KK Nasional harus dilakukan perubahan. Sebenarnya, perubahan tersebut harus dilakukan sejak pertengahan Tahun 2010 saat penulis menikah.

Saat itu, pihak perangkat desa tempat penulis tinggal bersama sang istri, menawarkan diri untuk mengurus semua proses perubahan yang dimaksud. Berhubung ada tawaran yang terkesan memudahkan tersebut, penulis menyerahkan segala kelengkapan untuk keperluan itu. Hari berganti hari, hingga bulan berlalu selama tujuh kali, penyelesaian perubahan dokumen kependudukan yang penulis harapkan tak juga kunjung ada kabarnya.

Sampailah pada bulan Maret 2011, penulis menemui perangkat desa yang mengurus perubahan dokumen kependudukan milik keluarga baru penulis. Jawaban dari perangkat desa tersebut cukup mencengangkan; dia mengatakan prosesnya tidak bisa dilanjutkan semudah "itu", dengan alasan selain perubahan status juga penambahan anggota keluarga. Dia malah menyarankan agar penulis mengurus sendiri semuanya. Tapi yang lebih mencengangkan lagi adalah kalimat yang dikatakan perangkat desa tersebut. " Sebetulnya bisa mas diuruskan, tapi ada biayanya." Nah biayanya itulah yang diluar kewajaran, karena minta Rp. 65.000 sampai Rp. 75.000, tergantung mau cepat apa normal.

Akhirnya diambil keputusan untuk mengurus sendiri saja, toh tempat kantor Dispenduk dan Capil Jember, penulis juga sudah mengetahuinya. Namun penulis baru sempat ke Jember pada bulan April 2011, dikarenakan kesibukan yang lain. Kesan pertama masuk ke Kantor Dispenduk Kab. Jember adalah, semrawut. Bagaimana tidak? Jam pelayanan buka jam 8 pagi, tapi jam 7 kurang pengunjung sudah berjubel di depan loket pelayanan ditambah dengan pemandangan tumpukan berkas yang luar biasa, persis di depan mulut loket.

Dalam kedatangan pertama tersebut, penulis hanya ingin menanyakan tentang segala persyaratan untuk perubahan status di KTP dan KK, sehubungan dengan pernikahan. Saat itu, petugas menjawab dengan simpel dan jelas, yaitu penulis cukup menebus blanko isian seharga Rp. 1.000,- kemudian diisi lengkap dan difotokopi rangkap dua. Dalam blanko isian tersebut juga diharuskan meminta tandatangan pejabat desa dan kecamatan. Sedangkan untuk KTP, petugas yang sama menjelaskan, setelah KK sementara sudah jadi harus disertai pengantar dari desa yang dilengkapi dengan contoh tandatangan dan foto terbaru. Sudah cukup jelas.

Setelah pulang, penulis segera mengisi blanko tersebut dan memintakan tandatangan kepala desa dan camat setempat dengan biaya, Rp. 15.000,- untuk KK dan Rp. 10.000,- untuk pengantar KTP, di kantor desa. Dan Rp. 10.000,- untuk KK. Seminggu kemudian, penulis kembali ke kantor Dispenduk untuk memasukkan berkas tersebut. Penulis sengaja datang lebih pagi untuk mendapatkan pelayanan yang secepatnya. Namun begitu kecewanya penulis, ketika berkas yang disodorkan ternyata harus dilengkapi dengan KK yang asli karena termasuk dalam perubahan. Padahal dalam penjelasan minggu sebelumnya, penambahan anggota cukup dengan blanko isian saja. Akhirnya pulang dengan tangan hampa.

Satu minggu berikutnya, penulis kembali ke kantor Dispenduk. Kesempatan penulis untuk ke Jember memang hanya seminggu sekali, sehubungan dengan kesibukan pekerjaan. Namun, lagi-lagi penulis harus kecewa karena berkas penulis masih belum sesuai. Oleh petugas, berkas penulis dikategorikan sebagai penambahan anggota dan bukan perubahan, sehingga harus dilengkapi dengan ijazah terakhir, surat nikah dan akte kelahiran; semuanya fotokopi. Ditambah lagi, dalam KK yang asli harus dituliskan nama anggota baru, nik dan sebagainya dengan tulisan tangan dan coretan bagi yang tidak dikehendaki.

Pada seminggu kemudian, masuk pada bulan Mei, penulis kembali ke Kantor Dispenduk. Dalam kesempatan tersebut, sengaja penulis menyertakan seluruh berkas fotokopian yang dinyatakan tidak diperlukan dalam kunjungan sebelumnya. Ternyata benar, petugas loket menyatakan kembali bahwa penulis termasuk dalam perubahan KK dan bukan pembuatan KK baru. Dengan sedikit bingung, petugas tersebut mengambil sendiri berkas yang diperlukan dan menyortir berkas yang tidak diperlukan. Akhirnya penulis mendapatkan KK sementara yang tertera tanggal pengambilan KK, yaitu seminggu kemudian.

Setelah mendapatkan KK sementara, dengan dilampirkan pengantar Desa, foto dan contoh tandatangan, penulis memasukkan berkas untuk permohonan KTP. Namun kekecewaan kembali menerpa saat petugas loket menyatakan bahwa yang digunakan harus KK yang sudah jadi dan bukan KK sementara. Padahal, dalam penjelasan pertama, cukup dengan menggunakan KK sementara.

Sampai tulisan ini dibuat, penulis masih belum mendapatkan KK yang baru dan otomatis, KTP juga masih tidak bisa diproses. Cerita lengkap episode 2, sinetron di Dispenduk Jember, akan penulis sampaikan dalam ulasan berikutnya, tentu setelah KK yang baru sudah jadi dan KTP juga sudah selesai. Jadi, sampai jumpa di ulasan berikutnya.

Penulis : Pakdhe U | Editor : Pakdhe U | Sumber : Pengalaman Pribadi | Copyright @2011 | BERSAMBUNG.....

Dimensi Khayal

Jember-Indonesia. Dalam ulasan di posting saat ini, penulis ingin mengutarakan beberapa hal yang berada dalam dimensi khayal, dan selama beberapa tahun terakhir senantiasa memenuhi alam pikiran. Yang namanya dimensi khayal, tentulah bukan sesuatu yang nyata atau realitis. Semua masih dalam ranah "mimpi","khayal", dan "imajinasi." Namun, tidak ada salahnya jika dalam kesempatan ini, penulis berbagi dengan seluruh penggiat Blog tentang apa dan bagaimana dimensi khayal penulis.

  1. Jabatan.

    Dalam dimensi khayal penulis, ada beberapa jabatan publik yang sangat ingin diraih serta ada beberapa jabatan yang sama sekali tidak ingin diraih. Dimulai dari yang sangat paling diharapkan sampai dengan yang sangat paling tidak diharapkan adalah;

    1. Petani Biasa.

      Selain masalah harga pupuk, hama tanaman dan harga jual hasil pertanian yang anjlok, ritme kehidupan petani cukup datar dan menyenangkan. Pagi-pagi buta berangkat ke sawah, memandang hamparan tanaman hijau subur ditingkah kicau burung bersahutan, alangkah damai dalam hati. Tidak ada yang terlintas dalam pikiran selain mengharap hasil panen yang bagus sehingga bisa menyimpan gabah untuk kebutuhan makan keluarga sampai masa panen berikutnya. Menjadi petani, seolah menjadikan hidup untuk menghidupkan orang lain disekitar kita.

    2. Pedagang.

      Selain masalah persaingan yang keras, harga grosir barang dagangan yang naik turun mengikuti dollar, strategi pemasaran yang sulit diterapkan dan keterbatasan pemasaran, menjadi pedagang cukup menyenangkan meskipun harus lebih keras dalam bekerja. Setidaknya, melihat barang dagangan laris terjual dengan cara yang sehat, sangat melegakan hati dan mampu memberikan pengharapan bagi keluarga yang menanti di rumah. Jika menjadi pedagang, stamina, pikiran seolah tanpa henti digerakkan agar senantiasa mendapatkan hasil dagang yang luar biasa.

    3. Sopir.

      Selain tanggung jawab yang sangat besar karena menyangkut nyawa orang lain, stamina yang kuat, kecakapan dalam mengendalikan kendaraan, nyaris tidak ada hal lain yang menjadikan sopir sebagai pekerjaan yang menakutkan. Jika ditunjang dengan hobi dan kesenangan terhadap dunia persopiran, sejatinya menjadi sopir cukup menyenangkan.

    4. Guru.

      Kelihatannya nyaman dan menyenangkan menjadi guru, namun dibalik itu semua tersembunyi tanggung jawab yang sangat besar. Betapa tidak? Generasi muda bangsa, masa depan negara kita semuanya digantungkan kepada seberapa berhasilnya seorang guru dalam memberikan materi pelajaran. Mendapatkan gaji yang cukup dan jaminan pensiun di masa depan adalah nilai lebih menjadi guru, tapi keikhlasan dalam membimbing dan mengarahkan setiap muridnya cukup menjadi beban pemberat untuk menjadi guru.

    5. Aparat Hukum.

      Tidak pernah terlintas dalam pikiran penulis untuk mengharap menjadi aparat hukum, bahkan meskipun ditawari dengan cuma-Cuma, penulis tetap akan menolaknya. Karena di pundak aparat hukum tertumpu beban tanggung jawab yang besar dan penuh dengan tantangan yang berat. Belum lagi jika hati dan jiwa kita belum bersih sepenuhnya, penulis yakin jika godaan berupa kenikmatan duniawi oleh pihak-pihak yang mengharapkan keuntungan dengan cara jahat tidak akan mampu kita tolak. Untuk mendapatkan harta halal untuk dimakan oleh anak dan istri, sangat berat karena harus melawan arus.

    6. Menteri.

      Adalah merupakan jabatan yang tidak ingin penulis dapatkan karena menjadi menteri adalah tercebur dalam politik. Sedangkan politik, menurut penulis adalah kejam. Politik adalah kotor bagi sebagian orang. Selain menghadapi tekanan kanan dan kiri, menjadi menteri juga menghadapi tekanan dari atasan. Gaji besar, perjalanan dinas luar negeri dan segala fasilitas wah lainnya, tidak menjamin hidup seorang menteri bisa tenang dan damai. Jika tersandung masalah, stroke, jantung dan berbagai penyakit berat lainnya sudah siap menyambut. Wah wah wah.

    7. Presiden.

      Cukup singkat gambaran yang akan penulis sampaikan untuk jabatan yang satu ini, yaitu "RUWET."

  2. Kekayaan.

    Dalam dimensi khayal penulis, kekayaan yang diharapkan tidaklah terlalu melimpah ruah dan berlebihan, sampai-sampai kesulitan untuk menghabiskan kekayaan tersebut. Setidaknya, cukup untuk memberi makan anak, istri dan beberapa orang yang membutuhkan dalam setiap bulannya. Serta kekayaan yang tersisa cukup untuk membekali anak-anak dan pihak lain yang membutuhkan dengan ilmu pengetahuan yang baik. Intinya adalah kekayaan yang bermanfaat dan didapat dengan cara halal.

  3. Kendaraan.

    Jika dengan mengendarai sebuah Toyota Kijang Innova, bisa mengajak 7 orang lainnya untuk merasakan kenikmatan berkendara dan merasakan kesenangan bersama, untuk apa membayar mahal sampai milyaran rupiah menebus Ferrari yang hanya memamerkan gengsi dan egoisme belaka, karena hanya cukup untuk 2 orang saja? Kalaupun penulis diberi Ferrari secara cuma-cuma alias gratis, penulis tetap akan menukarnya dengan Kijang Innova. Toh jika berangkat ke Jakarta dan menghadapi macet, sama-sama harus berhenti?!

  4. Pendamping.

    Seandainya Asmirandah bersedia menjadi istri penulis, syukur Alhamdulillah. Jikalaupun tidak mau, ya sudah tidak mengapa. Toh, Allah sudah menyediakan gantinya yang sepadan (maksudnya sama-sama perempuan) dan cantik tentunya.

  5. Ibadah.

    Tidak pernah terlewatkan untuk yang wajib dan sangat mengharapkan mendapat undangan berhaji. Amin.....


 

Penulis : Pakdhe U | Editor : Pakdhe U | Sumber : Dimensi Khayal Penulis | Copyright @2011 |Add Me |...

Beratnya Jadi Warga Negara Yang Baik

Jember-Indonesia. Menjadi warga negara yang baik adalah mimpi dan harapan setiap penduduk di Indonesia. Warga negara yang baik adalah warga negara yang tertib, patuh dan disiplin dalam menjalani tatanan pengelolaan negara. Juga warga yang tidak terlalu banyak menimbulkan masalah bagi kehidupan di sekitarnya. Namun, untuk menjadi seorang warga negara yang baik ternyata tidak semudah sebagaimana yang diharapkan sebelumnya.

Para mubaligh, ulama dan pemuka agama menyebutkan, sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci, bahwa kebersihan adalah bagian dari iman. Jika kita ingin menjadi warga negara yang baik, logikanya adalah kita juga harus menjaga lingkungan kita bersih dan nyaman. Selain menjadi warga negara yang baik, secara otomatis kita juga menjalankan ibadah dengan baik pula. Namun apa yang terjadi? Pada kenyataannya kita dihadapkan pada permasalahan yang berat. Sampah berserakan di mana-mana. Limbah pabrik dibuang seenaknya. Sungai selalu dipenuhi oleh sampah. Niatan kita untuk menjadi warga negara yang baik, sulit sekali terwujud jika apa yang terjadi sungguh diluar kemampuan kita untuk membenahinya. Sudah satu poin kenyataan bahwa menjadi warga negara yang baik adalah sangat berat.

Dalam ruang tunggu kantor pajak pratama, ditulis besar-besar kalimat " ORANG BIJAK, TAAT PAJAK". Jika kita taat dalam membayar pajak, selain bisa disebut sebagai orang bijak, kita juga termasuk sebagai warga negara yang baik. Namun, keikhlasan dan niat untuk menjadi warga negara yang baik dengan cara taat membayar pajak, baik itu pajak bumi & bangunan, pajak kendaraan bermotor, pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, ternyata ternodai oleh rasa pesimis yang besar. Bagaimana tidak? Pajak yang semestinya untuk pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat, ternyata dikorupsi alias dikemplang alias digelapkan oleh pejabat di lingkungan pajak, sebagaimana kasus Bang Gayus. Maka benar pula jika infrastruktur di negara kita ini tambal sulam. Belum lagi permasalahan permohonan keringanan pajak, dengan cara manipulasi data pajak oleh para pengusaha nakal, kian menambah beban pemberat untuk menjadi warga negara yang baik. Dua poin terkumpul.

Mengantri, atau tertib sesuai prosedur dalam sebuah layanan umum adalah salah satu ciri warga negara yang baik. Namun, mengantri adalah juga sebuah pekerjaan yang melelahkan. Buktinya adalah, ada sebagian warga yang rela mengeluarkan uang ekstra demi setiap urusannya selesai terlebih dahulu dengan mengorbankan warga lain yang rela antri dengan tertib. Hal ini sebenarnya bisa dicegah jika petugas yang menangani urusan tersebut tegas menolak uang ekstra dan meminta warga nakal tersebut masuk ke antrian. Pada kenyataannya, justru para petugas tersebut yang memberikan peluang. Pada akhirnya, hanya warga negara yang baiklah yang harus mengalah, meski dengan berat hati. Tiga poin.

Tiga poin yang penulis sebutkan di atas hanyalah sebagian dari sekian banyak daftar panjang beratnya menjadi seorang warga negara yang baik. Penulis yakin, jika satu persatu dituliskan dalam posting ini, tidak akan cukup dalam satu hari membacanya. Semuanya yang penulis sampaikan hanyalah hal-hal besar dan bukan hal yang detail. Jika anda bisa mencermati lingkungan sekeliling anda, sudah bisa dipastikan anda-pun akan menemukan hal lain yang bisa menjadikan kita berat untuk menjadi warga negara yang baik.

Lalu, bagaimana dengan anda? Sudahkah anda menjadi warga negara yang baik? Jika sudah, beratkah beban yang anda rasakan ketika berusaha menjadi warga negara yang baik? Penulis sendiri masih merasakan belum sepenuhnya bisa menjadi warga negara yang baik. Akhirnya, sekian artikel kali ini dan sampai jumpa dalam tulisan selanjutnya.


 

Penulis : Pakdhe U | Editor : Pakdhe U | Sumber : Opini Pribadi, Berbagai Sumber | Copyright @2011 |---